Banyak Perjanjian Internasional Baru, Neraca Perdagangan Bisa Positif

Kapal tunda melintas di antara kapal yang melakukan bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA – Kondisi perekonomian global yang melambat, karena perang dagang diakui menyulitkan ekspor. Namun, upaya Kementerian Perdagangan mencari pasar baru dinilai tepat menjaga kondisi ekspor Indonesia tidak anjlok. 

Ekonom Institut for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus mengatakan, langkah gencar pemerintah lakukan perjanjian baru dengan negara lain nampaknya positif bisa mendongkrak neraca perdagangan.

"Sudah tepat (perjanjian perdagangan baru dengan negara lain) yang sedang diinisiasi sekarang," ujar Heri dalam keterangannya yang dikutip, Rabu 26 Juni 2019.

Ia melihat, dalam dua tahun terakhir memang upaya ini gencar dilakukan Kementerian Perdagangan. Sehingga, diharapkan ini bisa positif namun perlu juga diantisipasi timbal baliknya.

Heri mengungkapkan, hal yang perlu diantisipasi dari perjanjian itu ialah timbal balik impor yang makin deras dan harus adanya penguatan manufaktur. Kalau tidak, Indonesia akan sulit bersaing dengan produk luar.

Pemilihan negara berkembang, misalnya di kawasan Amerika Latin dan Afrika, pun diapresiasi, karena dianggap meminimalkan risiko lesunya perdagangan dari mitra dagang besar Indonesia yang sedang terlibat perang dagang. 

Data Badan Pusat Stastistik (BPS) mencatat Mei 2019, ekspor Indonesia tercatat US$14,74 miliar. Nilai tersebut naik 12,42 persen dibandingkan April 2019. Namun, dibandingkan Mei 2018, nilainya masih minus 8,99 persen.

Di sisi lain, nilai impor menurun 17,71 persen secara tahunan. Besarannya pada Mei 2019 berada di angka US$14,53 miliar. Dengan kondisi tersebut, neraca dagang Indonesia tercatat surplus US$210 juta. 

Sebelumnya, Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, ketidakpastian perekonomian global semakin menekan perdagangan dunia, khususnya Amerika dan China. Di mana, keduanya merupakan mitra dagang terbesar Indonesia. 

Di samping itu, harga beberapa komoditas utama ekspor Indonesia, seperti minyak ketel, bijih tembaga, dan minyak kelapa sawit, juga mengalami penurunan.

“Upaya menggenjot ekspor akan menghadapi tantangan luar biasa karena banyak negara tujuan ekspor utama mengalami perlambatan ekonomi,” jelas Suhariyanto, Senin 24 Juni 2019.

Karena itu, neraca dagang sepanjang Januari-Mei 2019 masih mencatatkan defisit sebesar US$2,14 miliar. Defisit itu terutama disebabkan oleh defisit migas sebesar US$3,74 miliar. Sementara itu, nonmigas masih mencatatkan surplus US$1,6 miliar.