Uang dari Mana, Wacana soal O-Bahn Sebaiknya Diabaikan Saja
- Istimewa
VIVA – Pengamat Transportasi, Djoko Setijowarno menilai, wacana Kementerian Perhubungan mengoperasikan O-Bahn sebagai transportasi baru, khususnya mengatasi kemacetan di beberapa kota di Indonesia, sebaiknya diabaikan saja. Sebab, keterbatasan keuangan negara dan fiskal daerah jadi pertimbangannya.
"O-Bahn sebagai transportasi umum untuk mengatasi kemacetan di beberapa kota di Indonesia, dengan konsep smart city, lebih baik diabaikan saja," ujar Djoko dalam keterangan tertulisnya kepada VIVA, Selasa 25 Juni 2019.
Ia menjelaskan, selain pertimbangan biaya yang tidak sedikit, belum tentu Pemerintah Daerah mau menerima konsep tersebut. Apalagi, regulasi untuk menerapkannya belum ada. Sehingga, akan jadi masalah baru, jika belum dilengkapi dengan regulasi.
"Teknologi yang tidak murah, masih asing di Indonesia, butuh waktu menyiapkan prasarana pendukung dan mempelajari teknologinya. Untuk lima tahun ke depan, cukup sebagai wacana saja," kata dia.
Di sisi lain, menurut Djoko, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat akan meluncurkan program penataan angkutan umum, dengan konsep buy the service atau pembelian layanan pada 2020.
Program ini rencananya akan diberikan pada enam perkotaan, yakni Medan, Palembang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, dan Denpasar. Alokasi anggaran pun sudah disiapkan, sehingga Kemenhub dinilai lebih baik fokus pada program ini.
"Selama ini, atau lebih dari 10 tahun, daerah hanya dibagikan sejumlah armada bus. Tidak menimbulkan layanan angkutan umum yang bagus di daerah. Sebab, tidak ada pola pembinaan dan pengawasan dari pusat," kata dia.
Lebih lanjut, dia mengatakan, program ini tidak akan menimbulkan gejolak di kalangan pengusaha angkutan umum, jika sedini mungkin dilakukan sosialisasi.
"Sopir akan mendapat gaji bulanan, tidak dipusingkan dengan setoran pada pemilik armada. Pemilik armada bergabung dalam satu badan hukum yang menjadi operator dan diberikan keuntungan dari biaya operasional yang diselenggarakan," kata dia.
Untuk mewujudkan ini, lanjut dia, masih harus diperhatikan masalah kelembagaan, operator, sistem kontrak, jenis bus, rencana operasi, perawatan bus, sistem tiket, halte, anggaran hingga pengawasan atau controlling.
"Belajarlah dengan Pemprov DKI Jakarta dan Pemprov Jateng, yang sudah lebih dulu menerapkan program buy the service ini," ucap dia.
Menurut dia, hambatan pasti ada, tetapi jadikan tantangan untuk menciptakan transportasi umum yang murah dan mudah dikerjakan. "Negara harus hadir untuk memberikan layanan transportasi umum yang murah," katanya. (asp)