Soal Revisi PP 78, Serikat Pekerja Ingin Dialog Tripartit Tetap Ada

Hari Buruh Internasional atau May Day di Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA/Akbar Nugroho Gumay

VIVA – Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia atau OPSI, Timboel Siregar, menyambut baik niat pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.

Hal itu, diakuinya, merupakan salah satu out put dari pertemuan Presiden Joko Widodo dengan sejumlah perwakilan serikat pekerja di Istana Bogor, beberapa waktu lalu menjelang hari buruh 1 Mei 2019.

"Dalam pertemuan kemarin, ada beberapa hal yang dirumuskan. Pertama, soal adanya keinginan pemerintah atas usulan revisi PP 78," kata Timboel dalam diskusi di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu 8 Mei 2019.

"Kedua, soal adanya desk pidana ketenagakerjaan di Polri. Lalu, persoalan terkait jaminan sosial dan hubungan industrial yang harus ditingkatkan," ujarnya.

Terkait PP No.78/2015, Timboel mengaku sebenarnya sudah ada sejumlah hal positif yang terkandung di dalamnya. Misalnya, seperti soal kewajiban perusahaan membuat struktur skala upah, serta aturan terkait redenominasi upah tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang harus disesuaikan dengan rupiah.

Kemudian, di pasal 44 PP No.78/2015, di mana diatur bahwa kenaikan upah minimum didasari pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi berdasar acuan BPS, sebenarnya merupakan hal yang baik, karena membuat masalah kenaikan upah jadi bisa terprediksi.

"Tetapi, peningkatan upah minimum dengan rumus seperti itu tidak mendidik pekerja, pemerintah, dan pihak pengusaha untuk saling berdialog," kata Timboel.

Selain itu, Timboel juga menyoroti masalah kenaikan persentase upah yang ditetapkan secara nasional. Sehingga, apabila misalnya rumus upah minimum menghasilkan kenaikan upah sebesar delapan persen secara nasional, maka hal itu justru akan meningkatkan kesenjangan upah antardaerah.

"Nah, ini enggak benar juga. Karena, misalnya Jakarta dan Bekasi itu kesenjangannya akan lebih tinggi kalau UMP masing-masing harus dikali delapan persen. Itu kan, semakin senjang," kata Timboel.

Karenanya, Timboel menegaskan, selain merevisi PP No.78/2015 agar lebih sesuai dengan kondisi di masing-masing daerah terkait perbedaan kebutuhan hidup layak (KHL), inflasi, dan lain sebagainya, faktor dialog tripartit antara pihak serikat pekerja, perusahaan dan pemerintah juga harus diutamakan.

"Jadi, menurut saya, semua itu adalah bagian yang harus direvisi dan tetap harus melibatkan tripartit. Lakukan sesuai dengan kondisi di lapangan," kata Timboel.

"Survei itu baik, dibandingkan harus menerapkan secara nasional. Karena, inflasi di Jakarta dan Papua kan berbeda, maka pertimbangan itu harus dilakukan secara fair," tambahnya.