Alasan Bappenas Tekankan Pentingnya Pembangunan Ekonomi Inklusif

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro
Sumber :
  • VIVA/Mohammad Yudha Prasetya

VIVA – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro menegaskan, pembahasan mengenai pertumbuhan ekonomi tidak bisa hanya difokuskan pada tingkat pertumbuhannya, melainkan harus juga menyasar aspek pembangunan yang menyeluruh.

Sebab, jika hanya berbicara pertumbuhan tanpa adanya pembangunan, nantinya akan ada ekses yang tidak diinginkan. Di mana, pembangunan hanya menguntungkan sekelompok orang atau daerah tertentu, sehingga akan timbul kesan bahwa pembangunan justru menimbulkan ketimpangan.

"Makanya kami mau balik ke basic bahwa pembangunan itu harus bisa selesaikan masalah dari pembangunan itu sendiri. Yang penting kita sepakat untuk ciptakan pertumbuhan ekonomi, tapi tidak sampai di situ saja," kata Bambang di kantornya, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis 25 April 2019.

"Pertumbuhannya harus inklusif karena itu menjadi bagian jiwa dari pertumbuhan itu sendiri dan menyangkut masyarakat secara menyeluruh," ujarnya.

Oleh karenanya, Bambang menegaskan pentingnya indeks pembangunan ekonomi inklusif untuk menyejahterakan masyarakat, sebagai tujuan dari pemerintah pusat dan daerah. Untuk itu, perlu adanya indikator lain yang juga harus diperhatikan, seperti misalnya kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan.

Bambang menjelaskan, semua hal itu sebenarnya memang sudah ada di konteks pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir, seperti misalnya soal pertumbuhan ekonomi 5,17 persen, tingkat kemiskinan 9,82 persen, tingkat pengangguran 5,34 persen, dan rasio gini yang sudah turun ke 0,384. 

"Tapi kalau dilihat, ternyata masyarakat 40 persen terbawah mengalami pertumbuhan tetap lebih rendah dari pertumbuhan konsumsi nasional. Sementara kelompok menengah itu konsumsinya tumbuh di atas rata-rata. Sedangkan, 20 persen atas itu justru melambat. Jadi yang menengah tumbuh, walau belum ideal, tapi sudah bisa menopang pertumbuhan yang lebih inklusif ke depan," kata Bambang.

Dia menjelaskan, dua hal yang harus diperbaiki adalah masalah ketimpangan dan kemiskinan. Karena dari kelompok 20 persen tertinggi, 40 persen menengah, dan 40 persen terendah, masih terjadi ketimpangan di mana hal ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diatasi pemerintah.

Kelompok 40 persen terendah hanya mendapatkan kurang dari 20 persen share pengeluaran sejak 2005. Share terbesar masih dinikmati oleh 20 persen kelompok teratas, di mana pada 2011 distribusi pengeluaran 20 persen tertinggi itu terus meningkat hingga 2013. 

"Makanya perlu sinkronisasi langkah inklusif ini agar daerah juga bisa turunkan (ketimpangan, kemiskinan, dan pengangguran), sehingga kami buat juga indeks-indeks itu," ujar Bambang.

"Jadi bukan Indonesia unik dan berbeda dengan negara lain, tapi isu ketimpangan di dunia saat ini memang berbeda dengan kasus di Indonesia. Beberapa indikator tidak sejalan dengan kasus di Indonesia," tuturnya.