Kerja Sama Pemerintah dan Swasta Penting Wujudkan Program Air Bersih
- ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho
VIVA – Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat atau PUPR menilai peran serta pihak swasta sangat krusial dalam partisipasi penyediaan program air bersih. Sebab, nilai proyek pembangunan program air bersih yang sangat tinggi menjadi alasan utama pemerintah memilih menjalin kerja sama dengan badan usaha swasta.
"Kebutuhan untuk pembiayaan tidak sedikit dan lebih baik di KPBU-kan. Dengan kerja sama pemerintah dan badan usaha akan lebih cepat, lebih banyak yang mengawasi dan lebih save," kata Basuki di sela peninjauan pembangunan tol Aceh-Sigli, dikutip dari keterangan resminya, Jumat 15 Maret 2019.
Proyek penyediaan air bersih merupakan salah satu program Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang tak dapat memenuhi target hingga 2019 berakhir. Saat ini, proyek air bersih nasional baru mencapai angka 76 persen dari target yang dicanangkan pemerintah.
Selain proyek air bersih, terdapat tiga program RPJMN lain yang targetnya sulit tercapai. Tiga program tersebut ialah proyek pengendalian banjir, sanitasi bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), dan penyediaan hunian layak. Data ini dilansir Bappenas dalam evaluasi tahun keempat RPJMN.
Kendati demikian, Basuki menilai hal itu bukan bentuk kegagalan pemerintah, melainkan program yang perlu diperhatikan lebih pada 2020.
"Yang tidak tercapai bukan berarti gagal, tapi akan menjadi program perhatian di tahun berikutnya," tuturnya.
Sementara itu, terkait polemik masalah hukum mengenai keterlibatan swasta dalam pengelolaan air bersih di Jakarta, telah dijawab oleh Mahkamah Agung dengan mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Kementerian Keuangan. Dengan keputusan PK tersebut, sudah tidak ada persoalan mengenai peran swasta dalam pengelolaan air bersih di Jakarta.
Peneliti Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI Ainul Huda mengatakan, pengelolaan air bersih harus dilihat seperti dalam penyediaan listrik atau pengelolaan sumber daya alam lainnya yang telah dilakukan selama ini. Ada kontrol negara dan peran swasta yang dilibatkan.
Menurutnya, akan sangat rugi bagi pemerintah apabila mengeluarkan partisipasi swasta dalam penyediaan air bersih. Apalagi selama ini kontrol pengelolaan air baku masih dalam tangan pemerintah dan penetapan tarif juga dilakukan gubernur atau kepala daerah sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat.
"Kalau misalnya ada salah satu pihak yang dirugikan dalam kerja sama tersebut, ini lebih kepada soal business to business dan terbuka untuk dinegosiasi ulang," kata Ainul.
Masalah negosiasi ulang pernah dilakukan dalam kasus PAM Jaya dan PT Aetra. Pada 2012, Aetra telah bersedia untuk menurunkan perhitungan internal rate of return (IRR) dari 22,8 persen menjadi sekitar 15 persen.
Bahkan pada 2015, PAM Jaya berhasil melunasi utang kepada Bank Dunia sebesar Rp2,4 triliun yang sebagian dananya diambil dari penyisihan hasil kerja sama dengan Aetra sebesar Rp1,15 triliun.
Ainul mengatakan bahwa kondisi PDAM yang ada di berbagai negara juga berada dalam kondisi yang kurang sehat. Untuk itu, butuh upaya panjang apabila penyediaan air bersih disandarkan sepenuhnya pada PDAM.
"Jadi menurut saya akan sangat rugi bagi upaya percepatan dan perluasan penyediaan air bersih melalui pipanisasi dengan mengeluarkan partisipasi swasta," ujarnya.