Impor Bahan Baku Turun, Tanda Industri Manufaktur Melambat
- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
VIVA – Kinerja Impor pada Februari 2019, mengalami penurunan tajam hingga 18,61 persen dibanding capaian bulan sebelumnya. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, penurunan tajam itu, terutama dipengaruhi turunnya impor bahan baku atau penolong mencapai 21,11 persen.
Besarnya penurunan impor untuk kategori penggunaan barang tersebut, di akui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, sebagai indikasi bahwa geliat kinerja industri manufaktur sedang mengalami perlambatan.
"Sebetulnya, tadinya kalau demand karena pembangunan infrastruktur kayaknya masih jalan, sehingga impor untuk itu masih berjalan. Tapi kalau saya lihat, impor yang turunnya agak banyak itu mesin-mesin, artinya kita ya perlu segera membenahi manufaktur," kata dia di kantornya, Jakarta, Jumat 15 Maret 2019.
Memang, jika diuraikan lebih jauh, BPS mencatat bahwa berdasarkan golongan barangnya, penurunan impor yang tajam terjadi untuk untuk jenis barang mesin atau peralatan listrik senilai US$477,3 juta, diikuti besi dan baja senilai US$474,5 juta, kemudian mesin atau pesawat mekanik senilai US$209,1 juta, hingga bahan kimia organik senilai US$152,7.
Meski begitu, Darmin menilai, turunnya impor bahan baku atau penolong maupun barang modal dan konsumsi yang masing-masing sebesar 7,09 persen dan 17,43 persen tidak serta merta bakal memengaruhi perlambatan laju pertumbuhan ekonomi pada tahun ini yang ditargetkan 5,3 persen.
"Tentu, jangan lupa impor itu tidak dibanding pada saat yang sama dengan pengaruhnya terhadap GDP (Gross Domestic Bruto). Jangan lupa, itu pengaruhnya bisa satu sampai dua tahun," tegasnya.
Karenanya, dia optimistis, Indonesia masih mampu mempertahankan tren laju pertumbuhan ekonominya ke depan meskipun laju impor bahan baku atau penolong mengalami perlambatan di awal tahun ini. Serta, adanya proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan Bank Dunia melambat dari tiga persen ke 2,9 persen.
"Tapi jangan salah bahwa impor, apalagi barang modal, itu dampaknya tidak terlalu mirip, sehingga kita masih punya ruang atau waktu untuk menjawab persoalan yang menyangkut pertumbuban ekonomi," paparnya. (asp)