2019 Pertumbuhan Ekonomi Global Melambat, BI: Peluang Bagi Indonesia

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo.
Sumber :
  • Fikri Halim/VIVA.co.id

VIVA – Pertumbuhan ekonomi global di 2019 hingga 2020, diperkirakan melambat, sehingga menyebabkan perekonomian negara-negara berkembang, termasuk Indonesia akan tertekan. Itu dipengaruhi oleh perang perdagangan yang terjadi antara dua negara, dengan kapasitas ekonomi terbesar dunia, yakni China dan Amerika Serikat.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengatakan, meski begitu, Indonesia sebagai negara yang ekonominya sangat tergantung kepada kedua negara tersebut, karena keduanya merupakan negara tujuan dagang utama Indonesia, masih memiliki peluang untuk memperkuat pertumbuhan ekonominya.

"Kalau tahun lalu lebih banyak dampak rembeten global di dunia keuangan, aliran modal asing sejak tahun lalu keluar dan sekarang akan lebih terasa dari sisi perdagangan. Istilahnya, kalau tahun lalu financial channel matters (masalah kanal finansial), sekarang trade channel (kanal perdagangan)," kata Perry di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Senin 4 Maret 2019.

Perry menjelaskan, akibat perang perdagangan tersebut, ekonomi AS pada periode itu diperkirakan melambat dari posisi 2,9 persen di 2018, menjadi 2,3 persen di 2019, dan dua persen di 2020. Sementara itu, untuk China, diperkirakan turun dari 6,6 persen menjadi 6,4 dan 6,3 persen. 

Sementara itu, kata dia, BI memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu tumbuh dari yang 5,17 persen di 2018 menjadi 5,2 persen di 2019. Itu lebih disebabkan dampak perlambatan ekonomi kedua negara maju tersebut dikatakannya masih memberi peluang bagi Indonesia untuk tumbuh.

Dijelaskannya, peluang itu terletak dari besarnya potensi relokasi Industri dari negara-negara yang mengalami perlambatan ekonomi tersebut, ke negara-negara sekitar kawasannya lain. Dia menjelaskan, hal itu pernah terjadi saat Jepang, menghadapi restrukturisasi ekonomi pada 1980, yang menyebabkan industri-industri di negaranya melakukan relokasi ke negara-negara Asia Tengara.

"Perang dagang juga pernah terjadi antara AS dengan Jepang tahun 80-an. Sehingga, waktu itu juga melawan dan melakukan restrukturisasi. Karena itu, dia relokasi industri ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sehingga, ada teori angsa terbang," kata Perry.

Demikian juga ketika pada 1997, 1998, Korea Selatan kena krisis juga melakukan relokasi industri. “Itu yang harus kita tangkap dari turunnya ekonomi China. Kita enggak boleh menyerah," ujar dia.

Karena itu, kata Perry, dengan besarnya peluang relokasi tersebut, investasi dari sektor penanaman modal asing (PMA) diperkirakan masih terus masuk ke Indonesia, meski adanya proyeksi perlambatan ekonomi global. Dengan begitu, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakannya masih akan terjaga.

"Sudah masuk di Morowali, khususnya wilayah timur. Relokasi industri tarik PMA dan saya baru dari Beijing, mereka mau masuk ke konstruksi dan ekonomi keuangan digital. Ini kesempatan, dari menurunnya ekonomi. Sehingga, mari kita tangkap untuk berbagai bidang," tuturnya. (asp)