Pengamat: Insentif Penangguhan Pungutan Ekspor Positif ke Pelaku Usaha

Pekerja sedang memasukkan minyak sawit (CPO) ke kapal tongkang.
Sumber :
  • VIVAnews/Tri Saputro

VIVA – Upaya penangguhan pungutan ekspor minyak kelapa sawit oleh pemerintah dinilai dapat berdampak positif atasi defisit neraca perdagangan. Hal itu menjadi insentif bagi pelaku usaha sehingga petani dan pengusaha kelapa sawit terpacu produksi komoditas unggulan nasional tersebut lebih besar.

Ekonom Universitas Indonesia, FIthra Faisal mengungkapkan kelapa sawit selama ini menjadi komoditas unggulan Indonesia. Sehingga, ekspornya perlu ditunjang insentif agar produksinya tidak terbebani pungutan ekspor maupun hambatan luar negeri.

“Untuk mengantisipasi dampak defisit yang makin melebar maka diberi insentif untuk bisa melakukan ekspor. Salah satunya dengan menahan pungutan ekspor ini. Itu kebijakan yang cukup tepatlah,” jelas Fithra dalam keterangannya dikutip, Minggu 3 Maret 2019.

Ia mengungkapkan, keputusan pemerintah kali ini tepat, mengingat votalitas harga minyak sawit di internasional yang masih sangat fluktuatif. Di sisi lain,  keputusan ini juga mempertimbangkan ekspor nusantara yang pertumbuhannya belum signifikan. 

"Bisa mengurangi setidaknya beban bagi pelaku usaha terkait sawit. Ini bisa menjadi insentif bagi mereka untuk berproduksi,” ujarnya. 

Hanya saja, Fithra mengingatkan, pengaruh kebijakan ini tidak bisa dilihat segera dalam nilai ekspor. Mengingat hambatan dari luar juga masih banyak. 

Untuk itulah, lanjut dia, pencarian pasar baru masih perlu untuk terus dilakukan. Bahkan, upaya Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dalam misi dagang membuka pasar baru untuk komoditas ini adalah hal yang juga penting.

“Dengan adanya hambatan yang makin tinggi dari negara partner memang tidak bisa berkembang pesat secara signifikan dalam waktu dekat,” ungkap Fihtra. 

Perlu diketahui sebelumnya, apabila harga referensi Crude Plam Oil (CPO) telah mencapai US$570 per ton maka diwajibkan dikenai pungutan ekspor sebesar US$25 per ton. 

Ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.05/2018 yang berlaku sejak 4 Desember 2018. Sementara itu, harga referensi dari Kemendag untuk CPO per Maret ini sudah mencapai US$595,98 per ton. 

Harga referensi yang diambil tersebut sesuai PMK Nomor 13/PMK.010/2017. Di mana ditentukan penentuan harga referensi komoditas berdasarkan kisaran harga di periode dua minggu sebelumnya. Artinya, harga referensi CPO Maret tak lain adalah kisaran harga internasional periode 20 Januari-19 Februari 2019. 

Atas dasar itulah dalam rapat koordinasi terbatas (rakortas) pada Kamis 29 Februari 2019, pemerintah putuskan penangguhan pungutan ekspor agar tidak merugikan pelaku usaha dan petani. Mengingat harga aktual di pasar internasional untuk CPO pada seminggu terakhir berada di kisaran US$545 per ton. 

Rakortas pun sepakat memutuskan tetap membebaskan tarif pungutan ekspor kepada BPDP Kelapa Sawit sampai ada ketentuan baru yang berlaku, khususnya revisi PMK 152 Tahun 2018 mengenai aturan terkait periode berlakunya harga referensi minyak sawit dan turunannya guna kepastian kepada pelaku usaha.