Imbas Mandatori B20, Volume Impor Solar Harian Turun
- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
VIVA – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mengungkapkan, rata-rata harian volume impor bahan bakar solar mengalami penurunan sebesar 7,54 persen, setelah kebijakan mandatori implementasi perluasan campuran bahan bakar solar dengan minyak kelapa sawit 20 persen atau Biodisel 20 (B20) diberlakukan pada September 2018.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi mengatakan, pada periode tersebut, rata-rata harian volume impor bahan bakar solar pada 1 September hingga 13 November 2018 mencapai 25,12 ribu kiloliter atau lebih rendah dibanding realisasi 1 Januari hingga 31 Agustus 2018 sebesar 27,17 ribu kiloliter.
"Sampai 13 November menunjukkan perkembangan yang positif yaitu indikatornya dari volume impor yang turun harian," katanya di kantor Kementerian Keuangan Jakarta, Kamis 15 November 2018.
Meski demikian, jika dilihat berdasarkan devisa impornya, kebijakan tersebut belum membuahkan hasil yang signifikan, lantaran peningkatan rata-rata harian devisa impor masih terjadi, yakni sebesar 4,7 persen.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, rata-rata devisa impor harian setelah kebijakan impor tersebut diberlakukan hingga 13 November 2018 mencapai US$15,20 juta. Sedangkan, dari 1 Januari hingga 31 Agustus 2018 rata-rata hariannya sebesar US$14,52 juta.
Adapun importir solar yang menyumbang devisa impor terbesar adalah dari PT Pertamina, yakni dari US$181,74 juta pada 2017 menjadi US$392,67 juta pada 2018, atau naik 116,18 persen. Diikuti oleh AKR Corporindo dari US$137,97 juta menjadi US$176,21 juta atau meningkat 27,72 persen. Kemudian, Petro Andalan Nusantara dari US$24,87 menjadi US$33,87 juta atau naik 36,18 persen.
Sementara itu, untuk volume impor terbesarnya juga masih dipegang oleh Pertamina, yakni dari 420 ribu kiloliter pada 2017 menjadi 680 ribu kiloliter pada 2018, atau meningkat 60,72 persen. Diikuti Exxonmobil Lubricants Indonesia dari 40 ribu kiloliter menjadi 50 ribu kiloliter atau meningkat 62,18 persen.
"Keberhasilan kebijakan ini lebih tepat kalau kita gunakan volume, kalau devisa ini dipengaruhi selain volume tapi juga kurs," ungkap Heru.