Rasio Pajak Rendah, Potensi Penerimaan Negara Hilang Rp750 Triliun
- ANTARA FOTO/Fikri Yusuf
VIVA – Rasio pajak terhadap produk domestik bruto atau PDB di Indonesia masih terbilang rendah. Hal ini menunjukkan kepatuhan pembayaran pajak masyarakat terbilang juga masih rendah.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan, rasio pajak terhadap PDB saat ini masih di bawah 15 persen. Capaian tersebut dikatakannya masih tertinggal dari negara-negara tetangga, yang pada umumnya sudah mampu mencapai di atas 16 persen.
"Karena kalau dilihat dari rasio pajak masih di bawah 15 persen. Selama lima tahun terakhir kita berkutat antara 10 sampai 12 persen. Ini artinya masih banyak potensi bagi kita semua untuk meningkatkan kesadaran untuk membayar pajak," kata Sri Mulyani di kantor Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta, Jumat 9 November 2018.
Dia mengungkapkan, secara statistik ada ketimpangan antara wajib pajak (WP) yang mendaftarkan dirinya dan telah membayarkan pajak, dengan WP yang tidak sama sekali membayarkan atau mendaftarkan dirinya.
"Dari 10 orang baru satu yang terdaftar (sebagai WP). Dari 20 orang WP, yang bayar hanya satu orang. Dari 10 orang WP, yang sampaikan SPT (surat pemberitahuan pajak) hanya lima orang. Ini menggambarkan ketidakadilan," ungkap dia.
"Pembayar pajak patuh ini jadi melihat, kenapa kita harus patuh terus, (sedangkan) yang lain tidak terkena konsekuensi apa-apa. Tugas ini tidak mudah, dibutuhkan satu pemahaman dan kesadaran yang harus ditanamkan sejak usia dini," Sri Mulyani menambahkan.
Karena itu, dia mengharapkan masyarakat mampu meningkatkan kesadaran atau kepatuhannya dalam pembayaran pajak, sehingga tax rasio juga meningkat. Dengan demikian dapat mendongkrak penerimaan negara dari sektor pajak hingga Rp750 triliun.
"PDB kita sudah mendekati Rp16 ribu triliun, penerimaan masih Rp1.500 triliun. Kita melihat kalau rasio pajak dinaikkan hampir sama dengan negara-negara sekitar di 16 persen dari PDB, maka kita punya potensi lebih Rp750 triliun yang bisa dikumpulkan," kata mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.