Minim Hasil Positif di Pertanian, BPK Diminta Audit Kementan
VIVA – Badan Pemeriksa Keuangan dinilai harus mengaudit investigatif anggaran Kementerian Pertanian. Hal itu, lantaran kenaikan anggaran hingga 50 persen lebih justru paradoks dengan data pangan yang membuat gaduh.
Pengamat ekonomi dari Universitas Pelita Harapan, Rony Bako mengatakan, kenaikan anggaran harus diuji dengan dengan output yang dihasilkan, yakni peningkatan hasil produksi pertanian, terutama tanaman pangan.
“Mohon maaf nih, kita masih impor, padahal anggaran sudah banyak (keluar). Berarti, Kementerian Pertanian tidak berhasil. Menterinya harus tanggung jawab secara jabatan,” kata Rony dalam keterangannya, dikutip Rabu 7 November 2018.
Ia melihat, ada hal yang cukup ganjil soal naiknya anggaran Kementerian Pertanian dari 2017 ke 2018, yang naik hingga 57,22 persen. Pada 2017, anggaran untuk Kementerian Pertanian pada APBN dialokasikan sebesar Rp24,15 triliun, kemudian melonjak tajam menjadi Rp37,97 triliun.
“Boleh dia naik lebih dari 15 persen, tetapi outcome-nya dong. Ada manfaatnya enggak? laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah itu dievaluasi enggak?” ujarnya.
Roni mengingatkan, outcome kinerja pertanian dapat dilihat dari beberapa indikator. Pertama, mengenai kesejahteraan petani. Kedua, mengenai kemampuan konsumen untuk membeli komoditas.
Terhadap hal ini, ia mencontohkan, Nilai Tukar Petani (NTP) petani pangan, khususnya padi, harusnya bertambah cukup banyak. Sementara itu, harga beras di tingkat konsumen juga harus terjaga.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Nilai Tukar Petani (NTP) nasional pada Oktober 2018 justru turun 0,14 persen secara month to month ke angka 103,02 dibandingkan September 2017.
Penurunan itu, lanjut Roni disebabkan indeks harga yang diterima petani lebih kecil dari kenaikan indeks harga yang dibayar petani.
Lalu, harga gabah kering panen di tingkat petani pada Oktober tercatat naik 0,98 persen. Namun sayang, kenaikan produksi petani tidak diimbangi oleh makin makmurnya petani tanaman pangan tersebut, dilihat dari NTP petani pangan hanya meningkat 0,82 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Sementara itu, harga beras pun diketahui mengalami fluktuasi sangat tinggi di tahun ini. Selain itu, impor komoditas pangan juga sebenarnya terjadi di komoditas lainnya seperti jagung.
Tingginya harga jagung di pasaran, membuat pemerintah terpaksa membuka impor jagung sebanyak 100 ribu ton. Padahal, Kementerian Pertanian klaim produksi jagung dalam negeri surplus bahkan mengekspor komoditas ini.