Indef: RI Perlu Ubah Arah Kebijakan agar Tak Terganggu Eksternal
- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
VIVA – Defisit transaksi berjalan yang tengah terjadi saat ini dan terus melebar di atas tiga persen dari produk domestik bruto (PDB), nyatanya bukan hal yang baru bagi Indonesia. Hal ini menyebabkan Indonesia selalu rentan terhadap gejolak ekonomi global.
Ekonom senior Indef, Didik Rachbini, mengungkapkan, sejak krisis 1998, Indonesia bersama dengan negara-negara lainnya seperti Malaysia, Korea Selatan, Thailand, maupun Filipina pada dasarnya juga sudah menghadapi defisit transaksi berjalan (CAD) yang cukup signifikan.
Akan tetapi yang membedakan negara-negara tersebut dengan Indonesia, usai krisis mereka berhasil keluar dari jebakan pelebaran CAD. Sementara itu, Indonesia, dikatakannya masih tetap mengalami CAD yang terus bergejolak dan bahkan cenderung membengkak.
"Setelah 20 tahun Indonesia tertinggal, yang lain sudah beres. Thailand sekarang sudah surplus tujuh sampai delapan persen, Korea 4,7 persen, dan Malaysia 3,3 persen, sehingga Trump (Presiden AS Donald Trump) mau ngomong apa enggak kenapa-kenapa," tutur dia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa 6 November 2018.
Sementara itu, akibat tidak mampunya pemerintah keluar dari jebakan CAD, dia menegaskan Indonesia menjadi sangat rentan gejolak perekonomian eksternal.
Sebab, minimnya devisa yang diterima pemerintah menjadi hambatan untuk membiayai berbagai aktivitas perdagangan eksternal, seperti ekspor impor maupun pembayaran utang.
"Makanya Kementerian Keuangan selalu sebut (pelemahan rupiah saat ini) karena eksternal-eksternal terus. Itu namanya escape from problem," tegas dia.
Atas dasar itu, dia juga menilai, pemerintah sudah saatnya mengubah arah kebijakannya, dari yang disebutnya sebagai kebijakan entertaining menjadi kebijakan problem solving. Terutama terkait kebijakan fiskal yang nyata untuk meredam current account deficit.
"Jadi kekuatan kebijakannya entertaining saja bukan problem solving. Jadi inilah problem kita," tutur dia.