DEN: Langkah Mitigasi Dampak PLTA Batangtoru Sudah Tepat

Pembangunan PLTA (ilustrasi).
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA – Langkah yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK, yang melakukan mitigasi dampak pembangunan pembangkit listrik tenaga air atau PLTA di Batangtoru, Tapanuli Selatan, dinilai sudah tepat.

Langkah tersebut untuk memastikan proyek energi terbarukan itu bisa berjalan selaras dengan upaya perlindungan bentang alam Batangtoru dan konservasi orangutan.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dari unsur lingkungan hidup, Sonny Keraf, seperti dikutip dari keterangannya, Senin 29 Oktober 2018, menyatakan bahwa kementerian yang dipimpin Menteri Siti Nurbaya telah melakukan sejumlah langkah tepat dalam mitigasi dampak pembangunan PLTA.

“Langkah KLHK sudah benar,” kata Sonny, yang merupakan Menteri Lingkungan Hidup periode 1999-2001.

Langkah tersebut, termasuk mengirim tim untuk melakukan pemantauan intensif terhadap orangutan dan habitatnya.

Selain itu, KLHK juga sudah memerintahkan pengembang PLTA Batangtoru merevisi dokumen Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), untuk mengakomodasi keberadaan orangutan di sekitar lokasi pembangunan PLTA.

Instruksi-instruksi kongkret, seperti kewajiban untuk menyiapkan jembatan arboreal dan perlindungan koridor orangutan, juga sudah disampaikan KLHK kepada pengembang PLTA.

Sonny menyatakan, pembangunan PLTA Batangtoru penting untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan yang rendah emisi gas rumah kaca (GRK). Ini merupakan bagian dari perwujudkan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK, seperti sudah dinyatakan Presiden Joko Widodo, saat konferensi perubahan iklim di Paris, pada 2015 lalu.

Di sisi lain, perlindungan terhadap orangutan dan seluruh ekosistemnya juga tidak boleh dikorbankan atas nama pembangunan. “Jadi, ini memang tanggung jawab KLHK. Penggunaan energi terbarukan untuk mengurangi emisi GRK harus didorong, sementara konservasi ekosistem hutan dan habitat orangutan juga harus dijaga,” katanya.

Sonny menyerukan kepada sejumlah LSM yang masih menyuarakan penolakan pembangunan PLTA Batangtoru untuk berpikir lebih komprehensif. Penolakan tersebut, berarti penggunaan energi berbasis fosil seperti batubara dan minyak bumi akan berlangsung terus.

“Kalau semua pembangunan pembangkit energi terbarukan dihadang dengan isu lingkungan, tidak akan ada investor yang mau masuk. Maka, komitmen kita untuk menurunkan emisi GRK akan terancam. Lalu, kita akan terus menerus membakar batubara yang membuat dampak buruk perubahan iklim menjadi-jadi,” katanya.

Sonny menegaskan, pengembangan proyek pembangkit listrik bukanlah tanpa risiko. Untuk itu, harus dipilih proyek yang memiliki risiko paling dan dan dilakukan mitigasi terhadap dampak yang mungkin ditimbulkan.

Dia juga mengingatkan, pengembangan energi terbarukan yang memanfaatkan sumber daya alam yang ada di dalam negeri akan mengurangi impor bahan bakar minyak yang berarti penghematan devisa.

“Untuk PLTA Batangtoru, akan menggantikan pembangkit diesel terapung yang kita sewa dari Turki, dengan biaya besar dan masih menggunakan minyak bumi. Jika bisa memanfaatkan sumber daya di dalam negeri, tentu akan lebih baik dan lebih murah,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyatakan, untuk memastikan kelestarian orangutan, pihaknya memerintahkan agar pengembang PLTA Batangtoru menjaga koridor orangutan yang ada.

Dia juga menyatakan, sudah menginstruksikan agar pengembang PLTA memperkuat dokumen Amdal untuk mengakomodasi keberadaan orangutan di sekitar lokasi pengembangan.

Tim KLHK juga sudah lebih dari satu bulan memantau secara khusus pergerakan orangutan dan aktivitas pengembangan PLTA. Hasilnya, tak seperti dikampanyekan sejumlah kalangan, orangutan ternyata masih eksis dan bisa hidup berdampingan dengan aktivitas manusia. (ren)