Arcandra Sebut Kontrak Harga Jual Beli Gas di RI Masih Jadi Masalah
- Fikri Halim/VIVA.co.id
VIVA – Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menyebut kontrak harga jual beli gas yang ada di Indonesia masih menjadi sumber masalah.
Ia mencontohkan, dari kontrak jual beli gas awal yang ditetapkan, misalnya harga jual gas untuk industri adalah sebesar US$6 per MMBTU. Namun, ketika harga gas global naik di kemudian hari, produser gas masih memiliki peluang menyesuaikan harga misalnya ke US$8 per MMBTU.
"Kenapa bisa US$8, karena di kontrak memungkinkan untuk review harga. Saya enggak tahu apakah price review bagus atau tidak, karena menurut saya itu sumber masalah," ujar Arcandra di acara The 7th International Indonesia Gas Infrastructure Conference and Exhibition, Jakarta, Selasa 25 September 2018.
Ia melanjutkan, jika review harga dilakukan maka itu tentu butuh kemauan atau kerelaan dari masing-masing pihak. Namun, jika tidak timbul kesepakatan maka butuh bantuan mediasi dari pemerintah.
Untuk itu, para pelaku usaha di sektor gas bumi diminta untuk mengukur risiko ke depan dan menyusun cara penetapan harga yang terbaik.
"Jadi pekerjaan price review menguntungkan atau tidak, tolong ini dievaluasi. Ada cara yang sudah diterapkan di kontrak bagaimana kalau harga naik atau harga turun buat perjanjian yang disepakati kedua pihak," ujarnya
Sesuai Peraturan Presiden terkait harga gas yang ditetapkan Arcandra mengatakan, masih banyak industri yang berteriak bahwa harga Gas di Indonesia mahal, diantaranya konsumen industri sarung tangan, kaca dan keramik.
Bahkan, tak jarang industri membandingkan harga gas Indonesia dan negara tetangga meskipun harga Gas di Indonesia menurutnya berbeda tergantung lokasi dan infrastruktur.
"Di Malaysia kami bisa mendapatkan Gas US$5 kok di Indonesia menjual US$9. Makanya kalau bicara gas, kita bicara infrastruktur, di mana dulu, apakah Indonesia punya harga Gas yang di bawah US$4, ada yang US$12 juga ada," ujarnya.