Empat Jurus ESDM Tahan Pembengkakan Desifit Perdagangan Migas

ilustrasi kapal Pertamina.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Defisit perdagangan di sektor minyak dan gas bumi membuat neraca perdagangan RI pada Agustus 2018, tekor sebesar sebesar US$1,02 miliar. Padahal, neraca perdagangan di sektor non migas, justru tercatat surplus. 

Pada bulan tersebut, defisit perdagangan migas tercatat cukup besar dibanding bulan sebelumnya atau mencapai US$1,661 miliar. Di satu sisi, sektor non migas berhasil mencatatkan surplus sebesar US$639,6 juta. 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya mengungkap penyebab membengkaknya defisit migas itu, lantaran harga minyak dunia yang naik dan turunnya produksi blok migas di Tanah Air. 

Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, Djoko Siswanto mengatakan, pemerintah telah menyiapkan empat strategi untuk menahan pembengkakan neraca perdagangan migas. 

Pertama, adalah kebijakan mandatori Biodiesel 20 (B20) yang telah dijalankan pemerintah sejak 1 September 2018. Kedua, adalah kewajiban Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) Migas menjual bagian produksi minyaknya ke PT Pertamina terlebih dahulu sebelum melakukan ekspor.  

"Kalau B20 sukses kita tidak akan mengeluarkan dolar untuk membeli impor kan, begitu pula bagian KKKS (dijual ke pertamina)," ujar Djoko di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu 19 September 2018. 

Lalu, 'jurus' pemerintah yang ketiga adalah penggunaan produk dan jasa dalam negeri atau tingkat komponen dalam negeri (TKDN) di berbagai sektor. Diharapkan melalui kebijakan ini impor pun berkurang. 

Sementara itu, yang keempat adalah penerapan L/C (Letter of Credit) untuk sumber daya alam yang diekspor. Sehingga, diharapkan devisa hasil ekspor seluruhnya tetap masuk ke dalam negeri. 

"Semua perusahaan yang akan membeli produk di bidang energi, baik itu batu bara, emas, dan yang lainnya harus bayar pakai L/C di negeri ini. kan dapat kita dolar. Yang buka L/C di luar negeri, kita pindahkan ke dalam negeri. Artinya apa, kita akan banyak masuk uang US dollar," katanya. 

Djoko melanjutkan, dampak yang dirasakan akan kebijakan tersebut sudah terasa. Hal itu terlihat dari nilai tukar rupiah yang berhasil ditahan tidak menembus Rp15.000 per dolar AS.  

"Dampaknya, kemarin kan mentok-mentok Rp15.000 rupiah per dolar. Nah, sekarang enggak ada lagi kan itu lewat dari 15 (ribu) kan," tuturnya.