Rupiah Keok karena Indonesia Disamakan dengan Turki

Lembaran mata uang rupiah dan dolar AS diperlihatkan di salah satu jasa penukaran valuta asing di Jakarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

VIVA – Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan menilai, nilai tukar rupiah yang saat ini tembus di atas Rp14.700 per dolar Amerika Serikat, lebih disebabkan karena sentimen negatif pasar keuangan.  Kondisi ekonomi Indonesia pun disamakan dengan negara-negara emerging market yang tengah mengalami gejolak ekonomi, seperti Turki, Argentina, Brazil, hingga India.

Menurut dia, hal itu disebabkan karena pasar masih menilai, negara-negara yang memiliki defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD), cenderung rentan terhadap gejolak ekonomi global. Khususnya akibat kuatnya pemulihan ekonomi AS yang menyebabkan arus modal lari dari negara-negara emerging ke AS.

"Tembus Rp14.700 per dolar AS karena kita dikaitkan ciri-cirinya dengan India, Brazil dan Argentina yang dikhawatirkan kejadian tahap berikutnya (gejolak ekonomi) setelah Turki," tutur dia di Gedung Plaza Mandiri, Jakarta, Kamis 30 Agustus 2018.

Sementara itu, Ekonom Senior Bank Mandiri Andri Asmoro menambahkan, dari sisi fundamental ekonomi, pada dasarnya Indonesia masih lebih baik dibandingkan negara-negara tersebut. 

Di mana rata-rata data CAD terakhir sepanjang 2017 dikatakannya, masih di angka 1,7 persen terhadap PDB. Sedangkan Turki, India dan Argentina masing-masing sebesar 5,50 persen, 1,90 persen dan, 4,80 persen.

"Risikonya akan dinilai negara yang punya CAD paling terdampak. Isunya bukan di CAD, karena CAD Indonesia pada dasarnya masih di level sehat, tapi dikaitkan dengan capital accountnya. Kalau dilihat negara berkembang lainnya Indonesia masih baik tapi kita bukan di top league lah negara berkembang yang cukup baik," tutur dia.

Adapun proyeksi sepanjang 2018, nilai tukar rupiah diperkirakannya akan menyentuh Rp14.635 per dolar AS, sedangkan hingga 2019 akan masih bertengger di posisi Rp14.600. Hal itu masih dipicu oleh sentimen negatif pelaku pasar terhadap CAD Indonesia yang diperkirakan masih akan defisit sebesar 2,5 persen terhadap PDB sepanjang 2018 dan 2,4 persen di 2019.