Setelah Freeport, Pemerintah Didesak Caplok Saham Vale

Tambang nikel PT. Vale Indonesia Tbk di Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan
Sumber :
  • Antara/ Sahrul Manda Tikupadang

VIVA – Anggota Komisi VII Ahmad H M Ali mendorong pemerintah untuk mengambil alih saham perusahaan tambang bijih nikel di Sulawesi, yakni milik PT Vale Indonesia. Hal tersebut, sebagaimana yang telah dilakukan terhadap pengambil alihan saham PT Freeport Indonesia melalui proses divestasi saham yang sebesar 51,2 persen.

Sebab, kata dia, jika merujuk pada UU nomor 4 tahun 2009, perusahaan tambang asal Brasil tersebut, seharusnya menyepakati kewajiban mendivestasikan saham sebesar 20 persen kepada Indonesia. Baik ke pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan pihak swasta, serta individu Indonesia.

Namun, alih-alih dikuasai oleh pihak Indonesia, dari 20,49 persen saham publik, sebagian besarnya justru dimiliki oleh pihak swasta asing yang berkedudukan di luar negeri. Di antaranya, Citybank New York, JP Morgan Chase Bank, BP2S Luxembourg, BBH Boston, Platinum International Fund, dan BPN Paribas. 

“Padahal, dalam UU minerba yang diatur lebih lanjut dalam PP (Peraturan Pemerintah) nomor 24 tahun 2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba, secara eksplisit mewajibkan divestasi kepada peserta Indonesia sebesar 51 persen pada tahun kesepuluh sejak produksi,” ungkap Ahmad dalam keterangan resminya, Senin 20 Agustus 2018.

Proses divestasi tersebut, kata dia, seharusnya sudah dapat dilakukan pemerintah dengan melakukan perubahan atas Kontrak Karya (KK) PT Vale Indonesia, menjadi izin Usaha Pertambangan khusus (IUPK) untuk menguasai kembali tambang bijih nikel di pegunungan Verbeek, Sulawesi tersebut.

Sebab lanjutnya, sejak pemerintah menyepakati perpanjangan KK PT Vale Indonesia pada 2007 silam, perusahaan tersebut mempertontonkan sikap tidak kooperatif. Terhitung hampir dua tahun sejak diundangkan hingga Juni 2011, Vale belum bersedia untuk maju ke meja perundingan dengan pihak pemerintah Indonesia untuk memenuhi kewajiban divestasi.

Setidaknya, ada dua kepentingan strategis dibalik perubahan KK menjadi izin usaha pertambangan. Pertama, penguasaan kembali sektor minerba oleh pelaku nasional, dalam bentuk divestasi. Kedua, meningkatkan daya saing dan nilai tambah sektor minerba nasional, dalam bentuk hilirisasi. 

"Setelah Freeport, Vale patut menjadi agenda selanjutnya," tegas dia.

Karena itu, menurutnya, ada tiga langkah yang saling bertaut dan penting untuk segera ditempuh pemerintah. Pertama, mempercepat perubahan status KK Vale menjadi IUPK. Kedua, pemerintah mesti mempercepat langkah divestasi saham dengan target pemilikan mayoritas oleh peserta nasional. 

Serta yang ketiga, melalui pemilikan saham mayoritas, sebagai pintu masuk penyelenggaraan tata kelola korporasi dan pertambangan yang baik atau Good Corporate Governence (GCG) dan Good Mining Practice (GMP).