Pemerintah Diminta Awasi Maraknya Broker Properti Asing
- Istimewa
VIVA – Pemerintah seharusnya mengetahui atau mencatat seluruh data transaksi jual beli properti yang terjadi. Sebab, pemerintah bisa mendapatkan pajak dari hasil transaksi tersebut. Selain itu, broker properti memegang peranan penting dalam penjualan properti, khususnya mendatangkan devisa berupa pajak bagi pemerintah.
Namun, sayangnya di Indonesia aturan mengenai hal tersebut masih belum diberlakukan dengan baik. Masih banyak transaksi yang dilakukan oleh para broker properti, tak terdata dan tidak diinformasikan dengan transparan dan terbuka kepada pemerintah. Akibatnya, pendapatan negara dari transaksi tersebut yang seharusnya cukup besar, tidak didapatkan.
“Jadi, kami sangat mengharapkan pemerintah untuk lebih serius dan fokus dalam mengatasi hal ini. Broker properti tidak bisa memberikan peranan penting dalam rangka meningkatkan pendapatan pemerintah dari sisi perpajakan, tanpa peran serta pemerintah itu sendiri,” ujar Ketua Umum DPP AREBI, Hartono Sarwono di sela-sela Halal bi Halal DPD AREBI DKI Jakarta dan Diskusi Peran Pemerintah Dalam Industri Broker Properti, di Jakarta Design Center, Selasa 17 Juli 2018.
Untuk itu, sambung Hartono, pemerintah harus mengatur dengan membuat regulasi atau aturan yang mendukung pelaksanaan transaksi properti secara transparan, agar memberikan dampak yang sangat besar terhadap pendapatan negara.
Selan itu, ia mengaku saat ini, industri broker properti sudah mendapat dukungan dari Kementerian Perdagangan terkait regulasi. Meski begitu, dukungan dari pemerintah berupa regulasi tersebut dirasakan masih belum cukup.
Saat ini, Kementerian Perdagangan hanya memberikan aturan bagi perusahaan yang bergerak di industri broker properti. Sementara, yang dibutuhkan adalah aturan yang jelas bagi masing-masing personal broker properti tersebut.
“Aturan yang berlaku saat ini di Indonesia adalah, setiap kantor broker properti diwajibkan memiliki minimal dua orang tenaga ahli bersertifikat, jika ingin mendapatkan izin usaha sebagai perantara properti. Jumlah ini masih belum cukup, karena seharusnya seluruh broker properti memiliki sertifikasi jika ingin menjalankan kegiatan usahanya,” tegas Hartono.
Hal tersebut, lanjut Hartono, juga berlaku di seluruh negara-negara tetangga atau di ASEAN. Indonesia masih ketinggalan dalam penegakan aturan ini. Karena itu, ke depan pihaknya berharap seluruh broker properti harus teregulasi, memiliki sertifikat dan seluruh transaksi yang dilakukan dapat dilaporkan secara transparan.
“Selama ini, kami sangat kesulitan untuk memberikan informasi kepada pihak pemerintah, berapa besar transaksi properti yang dilakukan oleh broker properti. Hal ini, karena tidak adanya informasi mengenai transaksi yang terjadi, karena dilakukan oleh broker properti yang umumnya belum tersertifikasi. Pemerintah harus membuat aturan yang tegas mengenai hal ini,” ujar Hartono.
Selain itu, Kementerian Perdagangan juga harus berkordinasi dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Keuangan, terkait maraknya agen properti asing yang melakukan aktivitas di Tanah air. Dengan adanya aturan tegas mengenai registrasi tersebut, maka agen properti asing tidak bisa seenaknya melakukan jual beli properti di Indonesia dengan ilegal.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Broker Properti, Yamanah AC menjelaskan, diberlakukannya sertifikasi kepada broker properti, mengacu kepada program pemerintah bahwa seluruh tenaga kerja di Indonesia harus memiliki kompetensi. Sertifikasi yang dimaksud adalah harus sesuai dengan standar kerja nasional Indonesia yang ditetapkan oleh Kementerian Tenaga Kerja.
“Maka, dibentuklah lembaga sertifikasi yang berwenang untuk memberikan izin atau lisensi kepada sektor-sektor yang ingin melakukan uji kompetensi, untuk memastikan tenaga kerja yang ada disektor-sektor tersebut kompeten,” ujarnya.
Saat ini, menurut Yamanah, sudah ada 1.000 lebih LSP di Indonesia, yang bukan hanya untuk broker properti, tetapi seluruh profesi seperti dokter, akuntan, pengacara, dan profesi lainnya.
Dia mengakui, adanya aturan diwajibkannya sertifikasi di industri broker properti disambut positif oleh para pelaku profesi ini. Hal ini terlihat dengan tingginya minat dan padatnya jadwal uji kompetensi yang dilakukan oleh pihaknya dalam beberapa bulan terakhir. Meski begitu, pihaknya berupaya untuk melakukan uji kompetensi setiap bulannya.
Selanjutnya, Hartono menjelaskan bahwa saat ini, baru sebanyak 1.300 perusahaan broker properti yang memiliki sertifikasi dan masih banyak sekali yang belum. “Kami memperkirakan, saat ini, ada 30 ribu broker properti yang melakukan kegiatan, baik yang sudah menjadi anggota AREBI maupun yang belum terdaftar. Kami berharap dalam waktu dekat, seluruh broker properti di Indonesia memiliki sertifikasi agar bisa bersaing dengan broker properti asing,” tuturnya.