Ekonom Nilai Kebijakan RI Terlalu Protektif Terkait Globalisasi

Mari Elka Pangestu usai diskusi ekonomi di CSIS.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Istimewa

VIVA – Sejumlah pengamat dan praktisi ekonomi yang dahulu pernah mengambil kebijakan di pemerintah kembali memberikan masukan dan kritik terhadap jalannya pengambilan kebijakan negara dalam empat tahun terakhir.

Kali ini, mereka membagikan pengalaman Indonesia saat itu dalam hadapi pertentangan antara globalisasi, nasionalisme dan kedaulatan di tengah kancah perubahan dunia.

Ekonom itu adalah Arianto A. Patunru dari Australia National University, Mari Elka Pangestu dari Universitas Indonesia dan Chatib Basri mantan Menteri Keuangan. Mereka berkumpul di Gedung Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta.

Mari menuturkan tantangan Indonesia ke depan sangat menarik untuk dibahas terlebih dimensi globalisasi semakin kompleks dan rumit, seperti pisau bermata dua.
 
Menurut dia, globalisasi meningkatkan akses untuk memperbaiki taraf hidup dan juga meningkatkan kepekaan. Globalisasi juga memberi manfaat melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi, kenaikan pendapatan per kapita dan penurunan kemiskinan.  
 
Globalisasi tak terbendung dan bahkan menjadi semacam kebutuhan pokok sehari-hari, antara lain ketika manusia di berbagai pelosok dunia terhubung secara instan lewat media sosial.

Tapi, lanjut dia, globalisasi juga telah meningkatkan kepekaan suatu negara kepada berbagai guncangan dan dampak negatif. Sehingga, akibatnya sentimen anti-globalisasi meningkat yang dipicu pengalaman pahit akibat krisis keuangan dunia serta ketimpangan ekonomi yang semakin lebar.

"Kompleksitas globalisasi memunculkan pilihan-pilihan politik, yang mengejutkan, seperti terpilihnya Presiden Duterte di Filipina, Trump di Amerika Serikat, dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa," jelas Mari dalam keterangan tertulisnya, Senin 9 Juli 2018.

Tak sampai di situ, dampak negatif tersebut juga telah membuat kebijakan-kebijakan yang umumnya cenderung lebih bersifat populis dan isolasionis sebagai upaya melindungi diri dari dampak globalisasi dan atas nama kedaulatan.

Dan hal itu, lanjut Mari, juga dirasakan di Indonesia, seperti berbagai kebijakan seperti pelarangan impor atas nama swasembada, dan restriksi di bidang investasi.
 
"Namun seyogyanya berbagai pengalaman itu mengharuskan pendekatan yang lebih berhati-hati dalam merespons globalisasi agar mendukung desain kebijakan yang lebih tepat untuk menjawab isu yang muncul," jelas Marie.

Ia mencontohkan, pencapaian swasembada pangan tidak harus diartikan melarang impor sama sekali. Artinya, pendekatan mencukupi kebutuhan dalam negeri dengan harga yang terjangkau, termasuk dengan pengelolaan impor agar stok dalam negeri cukup dan harga stabil juga perlu ditekankan.   

Selain itu, swasembada sebagai target juga perlu dibarengi peningkatkan produktivitas dan produksi dalam negeri sehingga mengurangi kepekaan terhadap guncangan eksternal, seperti kenaikkan harga pangan yang dialami pada 2008.