Ekonom Sesalkan Pandangan JK Soal Rupiah Loyo Dorong Ekspor

Petugas menghitung uang dolar Amerika Serikat di gerai penukaran mata uang asing
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarok A

VIVA – Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gajah Mada, Tony Prastiantono, menepis pandangan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bisa menggenjot ekspor maupun meningkatkan keuntungan para eksportir.

Dia mengutarakan, jika dirujuk pada tren pelemahan rupiah yang terjadi pada masa kini, di mana hanya melemah dari kisaran Rp13 ribu menuju Rp14 ribu tidaklah bisa dikatakan mampu mendorong ekspor secara signifikan, sebab rentang pelemahan tersebut menurutnya tidak elastisitas sebagaimana yang terjadi ketika tahun 1998, yang melemah dari Rp2.300 ke Rp17 ribu.

"Waktu itu memang dengan lemahnya rupiah sooner or later Indonesia mendapatkan manfaat, yaitu ekspor kita naik. Bahkan mabel di Jogja waktu itu orang bongkar rumah dijual ke luar negeri saking murahnya. Jadi memang waktu itu harus diakui pelemahan rupiah jadi faktor pelan pelan Indonesia recover. Tapi sekarang situasinya beda," ujarnya di Jakarta, Rabu 9 Mei 2018.

Kemudian, lanjut dia, kondisi itu juga didorong oleh komoditas ekspor Indonesia yang masih di dominasi oleh sumber daya alam, atau primary product. Sehingga menurutnya tidak menjamin meski produk tersebut saat ini murah, permintaan global ikut naik mendorong ekspor.

"Itu tidak berarti kelapa sawit kita murah ekspornya naik, kan belum tentu juga. Tidak elastis juga, jadi tidak elastis dari sisi pergerakan rupiahnya seperti di 1998, belum lagi sifat produk kita masih banyak komoditi. Jadi tidak elastis," tegasnya.

Selain itu, dia juga mengatakan, pelemahaan rupiah saat ini juga terjadi merata di semua negara. Sehingga tidak memiliki arti berlebih terhadap pelemahan nilai tukar rupiah yang akan dianggap produk-produk ekspornya turut mengalami penurunan harga.

"Yang mengalami depresiasi itu tidak hanya rupiah, jadi semua negara berpikir yang sama saat ini. Jadi kalau kita berfikir wah rupiah murah, itu ya orang Thailand juga berpikir bath juga murah," jelasnya.

Karenanya dia menegaskan, itulah pentingnya memahami ekonomi, sebab dalam ekonomi, situasi boleh sama tapi environtment nya berbeda maka hasil dari kesimpulan terhadap kondisi tersebut juga dipastikan akan berbeda.

"Makannya itulah dibutuhkan ekonom untuk menganalisa, kalau enggak ya setiap orang bisa menganalisa. Jadi kita harus aware bahwa environtment nya beda dengan 20 tahun lalu," tegasnya.