China Harus Lebih Terbuka Terkait Investasinya di Indonesia

Pierre Van Der Eng
Sumber :
  • abc

Indonesia dan China didorong untuk mengembangkan iklim kerjasama yang lebih terbuka untuk memaksimalkan hubungan dagang dan bilateral di kedua negara.

Desakan ini disampaikan peneliti kerjasama Indonesia – China dari Australian National University (ANU) Melbourne, Associate Profesor Pierre Van Der Eng yang mengamati kerjasama kedua negara selama 10 tahun terakhir.

Van Der Eng mengatakan hal ini di Jakarta hari Selasa (8/5/2018) dalam seminar yang diselenggarakan oleh Indonesia Project ANU yang berlangsung di kampus Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta.

Berdasarkan risetnya diketahui nilai investasi China di Indonesia terus meningkat pesat, namun belum diimbangi dengan sikap keterbukaan.

Hal itu terlihat dari tidak seragamnya data terkait besaran investasi atau penanaman modal China yang tercatat di otoritas Indonesia dalam hal ini Bank Indonesia dan Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM)

Sebagai contoh, Bank Indonesia mencatat nilai investasi China melonjak hampir 3 kali lipat pada periode 2016 – 2017 yakni sebesar US$1,295 dari US$448 pada periode 2012-2015. Sementara BKPM mencatat pertumbuhan investasi China yang lebih besar yakni dari hanya US$467 pada tahun 2012-2015 menjadi US$3013 pada tahun 2016-2017

Photo: Associate Professor Australian National University (ANU), Pierre Van Der Eng (Australian National University)

 

Perbedaan ini juga ditenggarai karena aliran dana dari China lebih banyak disalurkan melalui perusahaan di Singapura atau Hong Kong ketimbang penanaman modal asing langsung.

Ketidakpastian ini menurut Piere Van Der Eng berpotensi menciptakan kerentanan pada kerjasama Indonesia-China.

“Fakta kita tidak tahu dimensi dari kenaikan investasi dan kegiatan perusahaan China di Indonesia ini menunjukan ada banyak hal yang perlu kita pahami lebih baik mengenai kegiatan perusahaan China di Indonesia.

“Jika tidak banyak informasi dan analisis mengenai hal itu maka akan sangat mungkin hal itu dapat memicu salah pengertian mengenai motivasi perusahaan China dan konsekwensi dari apa yang dampak dari kehadiran kegiatan perusahaan China.

Untuk mencegah kondisi ini, Profesor Pierre Van Der Eng mendesak otoritas Indonesia dan China untuk bersikap lebih terbuka kepada akademik, jurnalis atau pihak mana saja yang tertarik memahami apa saja kegiatan perusahaan China.

Banjir Tenaga Kerja Asing (TKA) China

Sebagaimana diketahui kunjungan Perdana Menteri China, Li Keqiang ke Indonesia pada Senin (7/5/2018) lalu membuahkan kesepakatan kerjasama bidang investasi diantara kedua negara.

Kerjasama yang ditandatangani di Istana Bogor itu meliputi pembangunan koridor ekonomi komprehensif regional di empat wilayah yaitu Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Kalimantan Utara dan Bali.

Dimana China berkomitmen akan menamakan modal di sektor perhubungan dan perikanan.

Photo: Sejumlah tenaga kerja asing asal China di Indonesia. (Reuters)

 

Namun kerjasama ini dibayang-bayangi keprihatinan sejumlah kalangan ini akan menjadi pintu lain masuknya tenaga kerja asing asal China ke tanah air. Sementara angka pengangguran di tanah air yang masih tinggi.

Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat meski hanya menempati posisi tiga besar investor asing di Indonesia, komposisi tenaga kerja asing (TKA) China ternyata sangat besar, yakni 21.300. Dibandingkan TKA asal Singapura sebagai investor nomor satu di Indonesia yang hanya berjumlah 1.700 orang. Sedangkan, TKA asal Jepang berjumlah 12.500 orang.

Menanggapi kekhawatiran ini Perdana Menteri China, Li Keqiang sendiri telah menyampaikan komitmennya untuk mengutamakan tenaga kerja Indonesia pada setiap investasi yang mereka lakukan di Indonesia.

Di sisi lain, pengamat hubungan internasional dari Universitas Bina Nusantara, Profesor Tirta Mursitama menilai pemerintah Indonesia memang harus bersikap lebih lebih hati-hati dan selektif.

Namun dari kacamata bisnis praktek ini merupakan hal yang lumrah.

“Itu bagian dari deal business. Untuk menekan biaya, untuk mempermudah komunikasi, mempercepat pekerjaan itu lah gunanya mendatangkan pekerja dari negara sendiri. “

“Yang harus dilakukan adalah kita harus memastikan pekerjaan itu selesai dengan kualitas yang baik dan tepat waktu serta setelah proyek itu selesai, para tenaga kerja asing itu harus pulang dan tidak menetap di sini.

Tirta Mursitama juga menambahkan kerjasama ini harus dipandang positif sebagai upaya pemerintah dalam mencari pembiayaan pembangunan.

“Sebenarnya apa yang dilakukan pemerintah saat ini sudah tepat yaitu mencari dana sebanyak mungkin dari luar. Tidak hanya dari China. Tetapi harus disadari bahwa berbagai negara juga sedang berjuang mengatasi pelambatan ekonomi karena krisis ekonomi global.”

Photo: Indonesia menjadi tujuan utama produk garmen China. (Reuteurs)

 

China saat ini tercatat sebagai mitra dagang terbesar ke-empat Indonesia dengan nilai lebih dari US$60 miliar. Naik dari sebelumnya US$48 miliar.

Sementara di sektor investasi, China merupakan investor terbesar ketiga dengan total investasi US$3,3 miliar dalam 1977 proyek. Jumlah ini tidak termasuk investor asal Hong Kong.