Pembiayaan Infrastruktur Era SBY Dimodifikasi oleh Jokowi

Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan Sugihardjo dalam sosialisasi KPBU di Surabaya, Jawa Timur, pada Senin malam, 2 April 2018.
Sumber :
  • VIVA/Nur Faishal

VIVA – Pemerintah mengakui bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN tidak mencukupi untuk membiayai dan menyokong percepatan pembangunan infrastruktur transportasi di Indonesia. Kerja sama pemerintah dengan badan usaha atau KPBU, milik negara maupun swasta, diperlukan dan jadi solusi.

KPBU sudah ada regulasinya. "Kalau sekarang dikenal KPBU, sebetulnya kita dulu sudah familiar dengan istilah PPP (public private partnership). Itu digagas dari masa (pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono) SBY," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan, Sugihardjo, saat membuka sosialisasi KPBU di Surabaya, Jawa Timur, Senin malam, 2 April 2018.

Dia menjelaskan, Indonesia jauh tertinggal dari beberapa negara lain soal infrastruktur transportasi, termasuk dibandingkan dengan tetangga serumpun Malaysia. Diperlukan percepatan pembangunan untuk mengejar ketertinggalan itu dan kerja sama dengan badan usaha diperlukan.

Alasan paling mendasar, kata Sugihardjo, ialah soal anggaran. Sekarang tersedia sekira 40 persen dari total APBN yang bisa dialokasikan untuk pembangunan seluruh infrastruktur yang dibutuhkan. Itu tidak cukup. "Pembangunan infrastruktur transportasi, orientasinya jangan hanya APBN, tapi juga harus ada skema lain soal pembiayaan," ujarnya.

Agar KPBU bisa berjalan efektif, prinsip take and give harus diterapkan. Pemerintah harus menerima manfaat dari kerja sama itu, begitu pula badan usaha, BUMN maupun swasta, juga mesti dipikirkan apa yang diperoleh.

Sugihardjo menggarisbawahi, KPBU bukanlah privatisasi seperti isu berkembang. "Amerika yang sangat kapitalis pun, tunjukkan pada saya satu contoh saja, apakah ada pelabuhan atau bandara yang sepenuhnya dimiliki swasta. Enggak ada. Karena infrastruktur publik harus dikuasai negara," ujarnya.

"Jadi, kepemilikannya tetap milik negara, tapi pengelolaannya, bisa dikelola oleh siapa pun. Karena kalau kepemilikannya oleh swasta-swasta, baik nasional apalagi asing, kedaulatan negara sudah tidak utuh lagi. Pengelolaannya di bawah kontrol kita dengan ikatan konsesi. Di akhir konsesi, aset kembali ke kita (negara)," ujarnya.