Waspada Politisasi SARA masih Hantui Pilkada-Pemilu Nanti

Ilustrasi pemilu.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi

VIVA – Penyelenggaraan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, dikhawatirkan memunculkan kembali politisasi identitas bernada suku, agama, ras, dan antargolongan, atau SARA. 

Hal ini dianggap lebih berbahaya dibandingkan fenomena politik uang yang dampaknya masih akan terasa, setelah kontestasi politik tersebut selesai. 

"Politik SARA ini lebih berbahaya dari politik uang, karena efeknya panjang. Menurut saya, enggak berhenti di 2018," kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti dalam suatu diskusi di Jakarta, Selasa 26 Desember 2017. 

Ray menyatakan, isu politisasi SARA bisa saja dilakukan di sejumlah wilayah strategis yang dalam waktu tak lama lagi akan menyelenggarakan pilkada. 

Ia menjabarkan, wilayah seperti Jawa Barat, Jawat Timur, Jawa Tengah hingga Sumatera Utara, juga punya potensi adanya politisasi SARA di pilkada.

Ray juga menyayangkan penyelenggara Pemilu yang belum membuat aturan tegas dalam penggunaan isu identitas oleh setiap peserta. 

"Nah, mengingat ancaman (hukuman) begitu rendah di dalam pelaksanaan Pemilu, karena itulah menurut saya isu SARA dipakai sedemikian rupa," kata dia. 

Dalam kesempatan yang sama, pengamat dari Ilmu Politik Universitas Paramadina, Arif Susanto menyatakan, tensi politik dalam pelaksanaan Pilkada 2018 perlu dicermati. 

Menurut dia, semua partai politik tengah berhitung hasil pilkada serentak berpengaruh pada nilai elektoral partainya di Pileg 2019 mendatang. Ia menilai, komposisi koalisi partai politik di 2018 hampir serupa dengan Pemilihan Presiden di 2014. 

Gelagat itu semakin pasti, ketika baru-baru ini, tiga kekuatan politik bersatu yakni Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, dan Partai Keadilan Sejahtera yang akan berkoalisi di Pilkada 2018. 

"Tahun 2018, kita akan menyaksikan konfigurasi politik seperti di 2014. Apa yang menjadi tantangan? Pertama, ada peluang konflik akan membesar," ujar Arif.