Dua Pekan Jelang Vonis, Buni Yani Curhat ke Fadli Zon
- VIVA.co.id/Lilis Khalis
VIVA – Terdakwa kasus pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) video pidato Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Buni Yani menemui Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Kedatangan Buni Yani dilakukan menjelang sidang putusan kasusnya.
"Lebih dari satu tahun kasus saya sangat membebani, tak bisa apa-apa. Riset doktoral saya berhenti, karir saya habis," kata Buni saat menemui Fadli di gedung DPR, Jakarta, Kamis 2 November 2017.
Dia mengatakan sebelum kasus ini menjeratnya, dirinya sedang melakukan tur di negara-negara Asia untuk pekerjaan akademiknya. Ia tak menyangka dari sekadar persoalan di Facebook berimbas ke pidana dan dikaitkan dengan politik.
"Ketika orang lakukan hate speech, saya bilang tak mungkin. Saya berasal dari keluarga yang sangat plural. Kakek saya punya saudara, menikah dengan Hindu di Lombok, sepupu ibu saya menikah dengan Manado, pindah ke Kristen," kata Buni.
Buni Yani menceritakan, ia pernah kuliah di Bali hingga beasiswa ke Amerika. Dalam studinya ia selalu menjadi minoritas. Begitupun saat melakukan penelitian ke Filipina juga berstatus sebagai minoritas.
"Saya biasa menulis buku, tak ada kaitannya dengan pidana. Ahli bahasa lebih pintar dari saya katakan tak bisa dibawa ke pidana. Tapi apa yang dikatakan buzzer Ahok diambil polisi dan jaksa. Kami lihat ini luar biasa tak adil. Saya merasa dikriminalisasi," lanjut Buni.
Dalam kasus ini, menurutnya justru ironi. Kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi malah dipelintir pihak yang berkuasa. Sebab, kasusnya dinilai bisa dipecahkan secara akademik tapi malah dibawa ke ranah pidana.
"Kami mohon pimpinan DPR, ini jadi perhatian kita semua. Terima kasih terhadap pengacara yang mengawal ini, saya tak bayar sepeser pun murni menegakkan hak warga negara. Kita ini ke DPR mudah-mudahan bisa ditindaklanjuti," kata Buni.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua DPR, Fadli Zon menghargai proses hukum yang berjalan. Ia pun berharap pengadilan sebagai tempat mencari keadilan bisa melihat fakta-fakta yang ada dan kejanggalan yang ada.
"Saya kira hakim harusnya bisa adil. Ini jadi satu ujian bagi sejarah penegakan hukum di Indonesia. Kalau tak dapat keadilan bisa ada preseden buruk. Ini akan kita lihat beberapa minggu ke depan. Mudah-mudahan Buni Yani dapatkan keadilan sesuai harapan," kata Fadli pada kesempatan yang sama.
Fadli menambahkan DPR hanya bisa mengawasi sesuai aturan yang ada. Ia berharap hukum tak menjadi alat kepentingan politik. Ia menegaskan kasus ini akan menentukan proses penegakan hukum ke depan.
"Apalagi punya motif balas dendam atau motif lain. Mestinya ini jadi bagian pertimbangan majelis hakim, persoalan harus kembali pada hukum. Saya sampaikan empati, sekaligus sebagai anggota DPR," ujar Fadli.
Menurutnya, sidang vonis Buni Yani akan menjadi pertaruhan apakah akan terjadi keadilan atau sebaliknya. "Saya tidak bisa melakukan intervensi terhadap proses hukum yang sedang jalan menuju vonis," tutur Fadli.
Seperti diketahui, Buni Yani didakwa mengubah, merusak, menyembunyikan informasi eletronik milik orang lain maupun publik berupa video pidato mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016.
Terkait kasusnya, Buni Yani akan segera menghadapi vonis pada 14 November 2017. (mus)