Ngotot Tolak RAPBN 2018, Ini Penjelasan Gerindra
- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
VIVA – Gerindra satu-satunya fraksi yang menolak Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2018 yang sudah disahkan dalam paripurna DPR, Rabu, 25 Oktober 2017. Gerindra memberikan penjelasan terkait sikap tersebut.
Ketua Fraksi Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, perkembangan sektor ekonomi setahun ini dalam pemerintahan Joko Widodo masih belum sesuai target.
"Gerindra tidak setuju karena memang kondisi pertumbuhan ekonomi yang tak sesuai dan masih rendah. Itu yang menjadi dasar kami menolak RUU APBN 2018," kata Muzani saat dikonfirmasi, Kamis, 26 Oktober 2017.
Posisi Gerindra sebagai oposisi tetap konsisten menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Dikutip dari Twitter Partai Gerindra @Gerindra, ada beberapa alasan partai pimpinan Prabowo Subianto tersebut menolak RAPBN 2018.
"Partai Gerindra menolak karena Pemerintah akan mengalami kegagalan dalam meningkatkan rasio pajak yg ditargetkan sekitar Rp1600 triliun," demikian pernyataan resmi Gerindra, dikutip Kamis, 26 Oktober 2017.
Sejauh ini, menurut catatan Gerindra, pemerintah baru mendapatkan rasio realisasi pajak Rp1472 triliun. Hal ini menjadi kekhawatiran karena pajak merupakan sumber penerimaan pemerintah.
"Jika itu terjadi maka pemerintah akan mengeluarkan surat utang negara sehingga menjadi beban keuangan".
Jika ini terjadi, maka yang ada akan upaya pemerintah kembali mengutang agar menutupi celah defisit anggaran untuk mengongkosi pembangunan infrastruktur.
"Rakyat Indonesia harus mengetahui bahwa hingga Agustus 2017 ini saja utang negara sudah mencapai hampir Rp3825 triliun," ujarnya.
Jumlah utang negara diperkirakan akan terus membengkak dengan taksiran mencapai Rp4000 triliun. "Tahun ini saja untuk membayar pokok utang dan bunga Rp514 triliun atau 33 persen dari APBN," demikian tambahan pernyataan Gerindra.
Catatan lain Gerindra kebijakan pemerintah mengatasi kekurangan anggaran di APBN dengan mengurangi dana pos yang berpotensi mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dua sektor yang menjadi sorotan Gerindra adalah kesehatan dan pertanian.
Untuk sektor pertanian dicontohkan kemampuan pemerintah membayar utang baru sekitar Rp2,5 triliun. Padahal, hal ini dinilai akan menurunkan kemampuan produksi pertanian dan pangan.
Tidak Pro Kesejahteraan Sosial
Anggota DPR Fraksi Gerindra Rahayu Saraswati Djojohadikusumo menyebut hal itu terlihat dari tidak didukungnya kebijakan anggaran dalam program perlindungan perempuan dan anak. Selain itu, tak ada skema penganggaran pengangkatan guru baru, Program Keluarga Harapan yang tidak didukung melalui kebijakan anggaran.
"Itu adalah beberapa di antara banyak catatan lain yang membuat postur APBN 2018 terlihat tidak pro terhadap keadilan dan kesejahteraan sosial," kata Sara dalam keterangan tertulisnya, Kamis 26 Oktober 2017.
Menurut dia, tidak didukungnya kebijakan anggaran dalam program perlindungan perempuan dan anak itu terlihat dari pemangkasan anggaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak oleh Kementerian Keuangan dan BAPPENAS.
"Bayangkan jika Kementerian yang lain mendapatkan puluhan triliun rupiah, kementerian yang seharusnya menjalankan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak untuk seluruh Indonesia hanya dianggarkan Rp553.8 miliar," lanjut Sara.
Kemudian, ia juga mencontohkan tak adanya skema penganggaran pengangkatan guru baru. Padahal, menurutnya Kemendikbud menyatakan akan ada 295 ribu guru yang akan pensiun dalam kurun waktu 5 tahun ke depan, namun belum ada rencana pengangkatan guru baru.
"Ada ratusan ribu guru honorer yang selama ini menunggu pengangkatan dan terkadang hanya menerima gaji Rp50 ribu/bulan," kata Sara.