Gara-gara Pansus, Kader Golkar jadi Target OTT KPK?
- REUTERS/Crack Palinggi
VIVA.co.id – Tahun ini, tercatat ada enam kepala daerah yang terkena Operasi Tangkap Tangan, atau OTT Komisi Pemberantasan Korupsi. Maraknya OTT, lantas menimbulkan kesan di masyarakat bahwa KPK sedang mengamuk.
Ada pula kecurigaan mengapa orang Partai Golkar terus yang ditangkap KPK, dan apakah ini akibat masalah pansus? Sebagai informasi, yang ditangkap OTT paling banyak akhir-akhir ini adalah kader Partai Golkar. Kurang lebih ada delapan orang.
Mengenai hal itu, Febri Diansyah, Juru Bicara KPK menampiknya. Ia mengatakan, pihaknya hanya menjalankan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ia pun memastikan bahwa tak ada hubungannya OTT yang dilakukan KPK dengan peristiwa politik. Menurutnya, KPK melakukan OTT karena memang ada laporan valid yang disampaikan masyarakat.
“Setelah kita temukan, maka kita amankan, dan melakukan pemeriksaan. Tidak semuanya juga otomatis jadi tersangka,” ujar Febri di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) tvOne bertajuk ‘OTT: Cerita Bersambung’, Selasa malam, 10 Oktober 2017.
Ia menambahkan, masyarakat yang memberi informasi juga identitasnya dijaga kerahasiaannya. "Tanpa identitas pun masyarakat bisa memberikan informasi dan nanti kita lakukan pengecekan," ujar Febri.
Ia lantas mengimbau, agar pihak lain yang punya niat memberikan sesuatu, baik itu partai, atau kelompok, untuk menghentikan niatnya.
Sementara itu, upaya-upaya pencegahan lain juga terus dilakukan KPK. Namun, suap masih terjadi, karena memang ada beberapa pihak yang kepentingan pribadinya lebih menonjol dibanding mengurus kepentingan publik.
"Dari sejumlah kepala daerah yang kita proses ada yang menerima suap untuk modal ikut kepala daerah lagi. Ada yang memanfaatkan semaksimal mungkin jabatan dengan kepentingan-kepentingan pribadi lainnya. Ada juga pemberian melalui CSR perusahaan. Jadi, ada banyak modus baru," katanya.
Salah satu modus baru yang ia sebut menarik adalah suap melalui bank tanpa transfer. Caranya, pemberi suap membuka rekening bank dengan nama orang lain. "Penyelenggara negara bisa mengambil uang di rekening tersebut kapan saja," ucapnya.