Aidit Tantang Jenderal Yani Bentuk Angkatan Kelima
- buku "G 30 S Fakta atau Rekayasa" karya Julius Pour.
VIVA.co.id - Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo melontarkan suatu informasi bahwa ada institusi di luar TNI-Polri yang membeli 5 ribu senjata ilegal. Pernyataan Gatot itu kemudian memicu polemik di tanah air. Sebagian orang kemudian menghubung-hubungkan masalah senjata ini dengan kejadian lebih dari 50 tahun yang lalu, yaitu ketika masyarakat Indonesia diramaikan isu pembentukan Angkatan Kelima.
Apa yang dikatakan Gatot itu seakan kontekstual karena disampaikan pada bulan September yang setiap kedatangannya, selalu mengingatkan bangsa ini dengan tragedi 1965. Apalagi, Gatot juga mengeluarkan kebijakan yang lebih ‘menjurus’ ke peristiwa itu dengan memerintahkan prajurit TNI menonton film “Pengkhianatan G30S/PKI”.
Memang, selain Dewan Jenderal, isu menentukan lain yang meningkatkan ketegangan politik sebelum peristiwa penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal di lingkungan Angkatan Darat pada 1 Oktober 1965 dini hari ketika itu adalah pembentukan Angkatan Kelima.
Dalam buku "G30S Fakta atau Rekayasa" halaman 27-28, yang ditulis Julius Pour, dikutip VIVA.co.id, Kamis, 28 September 2017, disebutkan bahwa isu Angkatan Kelima setidaknya dimulai pada 2 Desember 1962.
Pada waktu itu, Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani merestui pembentukan Persatuan Karyawan Perusahaan Negara (PKPN). Organisasi ini kemudian berubah nama menjadi Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI) yang dipimpin Mayor (Inf) Suhardiman.
Lahirnya SOKSI merupakan salah satu bentuk langkah terbuka dari Jenderal Yani dalam membendung pengaruh PKI yang memiliki Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Pembentukan organisasi itu juga didasari doktrin Dwi Fungsi ABRI yaitu ABRI tidak hanya mengemban fungsi tempur (pertahanan), melainkan juga bidang fungsi non militer lainnya (bidang sosial politik, ekonomi).
Langkah Jenderal Yani yang berani menjamah massa buruh di saat Bung Karno tengah melancarkan kebijakan konfrontasi melawan Malaysia itu segera dijawab oleh Ketua Umum PKI, DN Aidit, dalam pidato di Front Nasional awal tahun 1965.
Aidit meminta massa buruh dan tani dipersenjatai. Tujuannya agar mereka bisa membantu ABRI menghadapi ancaman nekolim yang terus memperkuat tentaranya di Malaysia.
Aidit menyebut sekitar 15 juta buruh dan tani di seluruh Indonesia siap berjuang melaksanakan komando Bung Karno untuk ikut mengganyang Malaysia jika mereka diberi senjata. Setelah itu, merebaklah isu Angkatan Kelima, sebuah angkatan bersenjata di luar Angkatan Darat, Laut, Udara dan Kepolisian.
Bagaimana respons Jenderal Yani atas tantangan itu?
Dituliskan dalam buku tersebut, Yani bertindak hati-hati. Ia lantas menugaskan Staf Umum Angkatan Darat (SUAD), yang terdiri dari Mayor Jenderal Siswondo Parman, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo, Mayor Jenderal Soeprapto, Mayor Jenderal Harjono, dan Brigadir Jenderal Donald Pandjaitan, untuk mengkaji persoalan tersebut.
"Pembentukan Angkatan Kelima tidak perlu, oleh karena kita telah mempunyai Pertahanan Sipil (Hansip) yang telah dan selalu bisa menampung semua kegiatan bela negara," kata Jenderal Yani setelah mendengarkan hasil kajian dan analisa SUAD.
Penolakan Yani dan lima jenderal di SUAD mengenai tuntutan pembentukan Angkatan Kelima membuat mereka diisukan sebagai Dewan Jenderal, anti nasakom, dan tidak mendukung kebijakan Presiden Soekarno. Fakta yang kemudian terjadi adalah mereka akhirnya menjadi korban penculikan dan pembunuhan pada 1 Oktober 1965 dini hari. Kejadian yang memicu perubahan politik di negeri ini.
Sikap Bung Karno
Melalui pidato 17 Agustus 1965, Bung Karno menyatakan memikul tanggung jawab atas usulan pembentukan Angkatan Kelima. Menurutnya, ide tersebut merupakan gagasan pribadinya.
"Saya mengucapkan terima kasih atas semua dukungan yang diberikan kepada gagasan saya, untuk mempersenjatai buruh dan tani," katanya.
"Kita berangkat dari fakta. Faktanya, neokolonialisme, kolonialisme dan imperialisme selalu membidikkan ujung pedang dan laras senapannya kepada kita. Kenyataannya, pertahanan negara menuntut usaha maksimum dari kita. Sesudah mempertimbangkan masalahnya, saya akan mengambil keputusan ini, dalam kapasitas saya selaku Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata"
Pada kenyataannya, ide Angkatan Kelima itu tidak pernah terwujud. Negeri ini kemudian mencatat terjadinya tragedi berdarah pada 1 Oktober 1965, enam jenderal dan satu perwira menengah Angkatan Darat tewas, kemudian disusul pembantaian ratusan ribu hingga jutaan rakyat Indonesia yang merupakan anggota PKI, dan ormas-ormasnya serta para pendukung Bung Karno dengan tuduhan terlibat dalam Gerakan 30 September. (hd)