Mendagri Tak Ikut Campur Wacana Gubernur DIY Bisa Wanita
- VIVA.co.id/Dwi Royanto
VIVA.co.id – Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengomentari ihwal putusan Mahkamah Konstitusi terkait peluang adanya gubernur perempuan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut Tjahjo, putusan MK tersebut tidak secara spesifik melawan aturan pemilihan pemimpin di lingkup keraton.
"Jadi putusan MK itu ada dua aspek, yakni MK hanya menyoroti dari aspek tata kelola pemerintahan serta apakah ini menyimpang dengan UUD 1945 atau tidak, " kata Tjahjo usai melepas mahasiswa peserta bela negara di Universitas Negeri Semarang, Jumat 8 September 2017.
Menurut Tjahjo, kalau konteksnya UUD 1945, maka baik laki-laki perempuan, muda, tua dilihat dari suku agama atau kelompok bisa menjadi gubernur. Namun terkait apakah Keraton Yogya boleh memilih raja perempuan, putusan MK itu tidak mengikat dan mengatur hal itu.
"Di internal keraton, itu punya paugeran atau aturan. Maka yang itu, pihak Kasultanan Yogya yang punya mekanisme. Jadi MK tidak masuk ke ranah sana. MK masuk ke ranah apakah laki-laki perempuan ini melanggar UUD 1945 atau tidak, " jelas dia.
Kementerian Dalam Negeri, kata Tjahjo, mengaku tak masalah dengan keputusan MK tersebut karena hanya masuk di ranah tata kelola pemerintahan yang sesuai UUD 1945.
"Kami ikut undang-undang. Walaupun Yogyakarta daerah istimewa. Nah keistimewaannya adalah aturan daripada Kasultanan Yogyakarta dan Paku Alaman. Gitu aja, " ujar Mendagri.
Kemendagri mengaku tak akan ikut campur terkait jalan keluar di internal keraton paska putusan MK tersebut terbit. Ia menyerahkan kebijakan itu di internal keraton.
"Lho iya dong. Kita tidak mau ikut campur. Itu kan adat istiadat budaya (di keraton Yogyakarta), " katanya.
MK mengabulkan sepenuhnya uji materi terhadap Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam putusan tersebut, hakim konstitusi menghapus frasa memiliki istri dan anak pada daftar syarat pengajuan calon Gubernur Yogyakarta. Selama ini, frasa dalam pasal tersebut menjadi kunci yang tak memungkinkan seorang perempuan diangkat sebagai gubernur di provinsi tersebut. (ren)