Rencana Banding Kejaksaan Atas Vonis Ahok Dinilai Tak Lazim

Jaksa Agung Muhammad Prasetyo (kanan).
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id – Rencana kejaksaan yang akan melakukan banding terhadap vonis terpidana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam kasus penodaan agama menuai kritikan. Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani mengatakan langkah itu tak lazim dilakukan.

Arsul menilai sebelumnya jaksa tak pernah banding jika vonis hakim lebih berat dari tuntutan.

"Kita kritisi karena selama ini banding apabila vonis hukim kurang dari 2/3 tuntutan. Tapi tidak pernah ada jaksa banding karena hukuman lebih berat dari tuntutan," kata Arsul dalam diskusi di Jakarta, Selasa 16 Mei 2017.

Dijelaskan Arsul, dengan contoh kasus Angeline atau pembunuhan anak di bawah umur di Bali. Pria bernama Agus, salah salah satu terdakwa dituntut jaksa saat persidangan bahwa yang bersangkutan dianggap terbukti menyembunyikan mayat.

Namun, hakim dalam  kasus tersebut memutuskan bahwa Agus terbukti membantu melakukan pembunuhan, sehingga hukumannya lebih tinggi dari tuntutan. Namun, pada saat itu jaksa tak mengajukan banding.

Jika memang ada kebijakan banding, menurut Arsul, hal itu harus berlaku umum. Kedepannya hal ini dikhawatirkan akan menjadi masalah. Misalnya, jika jaksa menuntut atas suatu pasal, tapi hakim kemudian menjatuhkan vonisnya dengan pasal yang lain meskipun itu ada di dalam tuntutan, maka jaksa harus melakukan banding.

"Itu kan kebijakannya harus begitu. Kalau hanya berlaku untuk Ahok, itu langkah hukum yang diskriminatif," kata dia.

Jaksa Agung M Prasetyo mengatakan jaksa akan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas vonis dua tahun yang dijatuhkan ke terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terkait perkara penodaan agama.

Seperti diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah memvonis Ahok dengan hukuman pidana penjara dua tahun, pada Selasa 9 Mei 2017 lalu.

Putusan majelis hakim itu lebih berat dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang cuma menuntut Gubernur DKI Jakarta non aktif itu dengan pidana penjara satu tahun dan dua tahun pidana percobaan.

"Nah di sini ada mekanisme yang bisa dilakukan ketika katakanlah saya dengar terdakwanya banding, jaksa pun tentunya sesuai dengan standar prosedur yang ada, ya kami juga mengajukan banding," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat, 12 Mei 2017.