Angket E-KTP DPR Tak Punya Dasar Hukum
- VIVA.co.id / Reza Fajri
VIVA.co.id – Dewan Perwakilan Rakyat mengetuk palu paripurna dalam pembahasan usulan angket e-KTP meski diwarnai kericuhan dengan aksi walk out. Hal ini menjadi sorotan dan menuai kritikan dari masyarakat luas.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Fariz Fachryan mengatakan perilaku DPR tak mencerminkan patuh terhadap aturan undang-undang. Kritikan ini karena sikap keras DPR yang memaksa KPK untuk membuka dokumen rahasia berupa rekaman saksi e-KTP.
"Nah, DPR tahu tidak ketika membuka keterangan dari saksi Miryam yang merupakan dokumen rahasia negara bisa dipenjara dua tahun," kata Fariz kepada VIVA.co.id Jumat 28 April 2017.
Dijelaskan Faridz, secara undang-undang, hak angket yang digulirkan DPR tak mendasar. Ia menekankan hak angket dalam aturan undang-undang ditujukan kepada pemerintah mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Pasal 17 ayat 3. Dalam aturan itu, sudah jelas hak angket ditujukan untuk melakukan penyelidikan atas kebijakan pemerintah.
"Nah, KPK itu kan bukan pemerintah. Jadi, KPK menggelar hak angket tidak ada dasar hukumnya," tuturnya.
Hal senada dikatakan peneliti Pukat UGM lain, Zaenur Rohman. Menurutnya, hak angket yang diketok DPR dalam paripurna terhadap KPK hanya sekedar untuk membuka keterangan Miryam merupakan serangan balik kepada KPK. "Hak angket ini merupakan serangan balik kepada KPK," katanya.
Ia menekankan, DPR dalam persoalan ini sebenarnya cukup mengikuti proses hukum di pengadilan dalam kasus e-KTP. "Satu-satunya forum untuk mengetahui informasi terkait kasus korupsi e-KTP adalah peradilan karena tidak ada dasar hukumnya KPK menggunakan hak angket terhadap KPK," ujarnya.
Zaenur mengingatkan jika DPR tetap bersikeras nekat membuka informasi yang bersifat pro justicia maka lembaga wakil rakyat itu yang melanggar hukum.
"Forum resmi untuk membuka informasi pro justicia termasuk keterangan Miryam hanya di pengadilan dan itu juga terbuka untuk umum," tuturnya.