Djan Faridz Masih Buka Pintu Islah untuk Romi
- VIVA.co.id/ Agus Rahmat.
VIVA.co.id – PPP kubu Djan Faridz masih membuka pintu islah terhadap pihak Romahurmuziy atau Romi agar bisa membesarkan partai berlambang Kabah ini secara bersama. Namun, dalam mekanisme islah ini, pihak Romi harus ikuti kebijakan aturan kepengurusan PPP Muktamar Jakarta.
"Kami terutama Pak Djan Faridz itu selalu terbuka untuk islah sampai sekarang. Sebagai partai Islam, menyesuaikan ajaran agama, mari kita bersama besarkan partai di bawah Bapak Djan Faridz," kata Wakil Sekjen PPP Sudarto saat dihubungi VIVA.co.id, Sabtu, 25 Maret 2017.
Sudarto menjelaskan konflik dualisme partai yang sudah berjalan dua tahun lebih harus diselesaikan. Tapi, karena kekerasan kubu Romi, proses islah ini selalu terhambat. Hal ini ditambah ada pihak ketiga yang sengaja memancing air keruh agar PPP terkesan terus konflik.
"Kami sudah sering tawarkan opsi islah, tapi selalu tak direspons. Kalau direspons pun tak diseriusi untuk dilanjutkan," tuturnya.
Dia menambahkan PPP punya agenda penting ke depan seperti Pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019. Konsolidasi partai yang pecah di daerah dari tingkat ranting cabang dan wilayah harus diperhatikan dan diselesaikan.
"Secara legitimasi pengadilan dan keputusan MA, kami yang punya kewenangan sebagai pengurus yang sah. Ini yang harus jadi catatan semua pihak," ujarnya.
Terkait islah untuk konflik dualisme PPP, sepertinya masih belum menemukan jalan keluar. Pihak Muktamar Surabaya yang diwakili Ketua Umum Romi mengaku bingung dengan dorongan islah yang pernah ditawarkan kubu Djan Faridz.
Ia menilai niat islah yang didorong Djan Faridz selalu diputar balikan sehingga posisi kepengurusan Muktamar Surabaya yang rugi.
"Saya bingung apa yang mau diislahkan. Selalu diputar-putar. Wong kami kan yang punya legitimasi, diakuin pemerintah. Kok mereka banyak maunya," tutur Romi saat dikonfirmasi VIVA.co.id, Jumat, 24 Maret 2017.
Romi juga bingung dengan pemecatan terhadap dirinya dari keanggotaan PPP yang disampaikan Djan Faridz, Kamis,23 Maret lalu. Menurutnya, kebijakan ini tak punya dasar legitimasi.