Ansor: Kalau Pemimpin Nonmuslim Tak Sah, Bubar Negeri Ini
- Viva.co.id/Nur Faishal
VIVA.co.id – Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor, Yaqut Cholil Coumas, mengklarifikasi polemik hasil bahtsul masail di kantornya, Jakarta, pada Sabtu-Minggu, 11 hingga 12 Maret 2017 lalu. Bahtsul masail itu jadi polemik karena di dalamnya membahas soal kepemimpinan nonmuslim.
Hasil bahtsul masail diumumkan Ansor di Jakarta seusai sidang. Kesimpulannya, pemimpin atau kepala daerah dinilai sah apabila terpilih secara konstitusional. Oleh karena itu, segala kebijakannya mengemban tugas negara juga sah, baik dari sisi konstitusi negara maupun agama.
Keputusan itu jadi polemik karena di kalangan Nahdlatul Ulama, soal kepemimpinan nonmuslim sampai kini masih memunculkan perbedaan pendapat. Bahkan Wakil Rais Am Pengurus Besar NU mengkritisi keputusan Ansor tersebut karena tidak dilaporkan terlebih dahulu ke pimpinan NU sebelum diumumkan.
Yaqut mengatakan, di kepengurusan Ansor banyak kiai muda. Bahtsul masail dilakukan sebagai bagian dari pengembangan kader di bidang hukum Islam. Adapun perbedaan pendapat yang mewarnai keputusan bahtsul masail dianggap sebagai latihan sebelum nantinya betul-betul turun memimpin umat.
"Itu bahtsul masail latihan. Kalau sudah terbiasa dengan perbedaan pendapat, kader-kader Ansor nanti tidak kaget ketika jadi kiai beneran di tengah-tengah masyarakat," kata Yaqut seusai acara rapat koordinasi bersama pengurus Ansor dan Banser Jatim di Kantor NU setempat di Surabaya, Jawa Timur pada Rabu, 22 Maret 2017.
Keputusan bahtsul masail Ansor itu, kata Yaqut, sifatnya tidak mengikat kepada semua umat Islam di negeri ini. Apalagi, secara harafiah bahtsul masail artinya membahas sebuah permasalahan. "Jadi boleh dong kami membahas permasalahan. Sifatnya juga tidak mengikat, yang mau ikut silakan, yang tidak mau ikut juga silakan," lanjutnya.
Terkait materi bahtsul masail, Yaqut berpendapat bahwa memilih dan mendukung pemimpin atau kepala daerah yang muslim adalah kewajiban bagi umat Islam. Namun bukan berarti kepala daerah yang terpilih dari kalangan nonmuslim tidak sah. "Kalau yang terpilih nonmuslim, ya boleh saja," ujarnya.
Di Indonesia, lanjut Yaqut, ada beberapa provinsi yang mayoritas daerahnya justru dipimpin nonmuslim. Misalnya di Provinsi Papua dan Nusa Tenggara Timur.
"Di Papua dan NTT itu kepala daerahnya mayoritas nonmuslim. Kalau itu dianggap tidak sah, bisa bubar negeri ini," lanjut Politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu.
Penjelasan itu, kata dia, juga disampaikan kepada Ketua NU Jawa Timur, Hasan Mutawakkil Alallah. (one)