DPR Bantah Wacana Revisi UU KPK Imbas Korupsi e-KTP
- VIVA.co.id/ Lilis Khalisotussurur.
VIVA.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi merasa banyak upaya yang mengganggu penuntasan perkara e-KTP yang tengah diusut. Salah satunya dengan mendorong perubahan Undang-Undang KPK.
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon pun membantah bahwa wacana revisi UU KPK itu terkait dengan upaya KPK yang terus mencari pihak-pihak yang terlibat dalam bancakan uang negara senilai Rp2,3 triliun tersebut.
Apalagi, beredar nama-nama anggota DPR RI dan pejabat di negeri ini yang ikut menikmati uang haram dari total nilai proyek bernilai Rp5,9 triliun itu.
"Tidak ada ya. Enggak ada. Revisi UU KPK itu adalah wacana yang memang ada tahun lalu. Seperti sama-sama kita ketahui bahwa tahun lalu ada rencana revisi tersebut," ujar Fadli di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu, 8 Maret 2017.
Ia mengungkapkan, sejatinya pemerintah menyetujui rencana revisi UU KPK, termasuk pihak DPR RI, meski hanya sebagian anggota. Sebab, ada beberapa hal yang perlu disempurnakan dari regulasi yang ada sebelumnya.
"Namun pada akhirnya tidak ditindaklanjuti. Presiden ketika itu menyampaikan perlu adanya sosialisasi dari revisi ini. Perlu ada penyempurnaan yaitu soal masalah adanya dewan pengawas, penyidik, penyadapan, ada empat pokoknya," kata dia.
Diketahui, Juru Bicara KPK Febri Diansyah merasa banyak upaya yang mengganggu penuntasan perkara e-KTP yang tengah diusut. Salah satunya dengan mendorong perubahan Undang-Undang KPK.
Padahal, pihaknya ingin fokus bekerja dalam menuntaskan kasus korupsi senilai Rp2,3 triliun ini. Pasalnya, perlu tenaga dan pikiran, sehingga kasus tersebut tidak terhambat dengan isu lain.
Dalam kasus ini, KPK baru menjerat dua tersangka. Mereka yakni Sugiharto dan mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri, Irman. KPK juga menyatakan bahwa proyek e-KTP ini menjadi bancakan banyak pihak. Nilai korupsinya mencapai Rp2,3 triliun.
Bahkan informasi yang dihimpun VIVA.co.id, bukan cuma pejabat Kementerian Dalam Negeri yang menerima, melainkan pimpinan dan anggota DPR, pejabat Parpol, Menteri yang masih aktif, gubernur aktif, pengusaha dan korporasi yang menikmati uang haram ini, bahkan ada juga uang ratusan miliar yang mengalir ke sejumlah partai.