Tahun 2016, Fadli Zon Soroti Tenaga Kerja Ilegal China di RI
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id – Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon, melihat masih banyak masalah yang terjadi di penghujung tahun 2016. Ia sampai membuat catatan khusus pada pemerintah sepanjang tahun 2016 ini. Maraknya tenaga kerja asing (TKA) ilegal asal China di Indonesia pada penghujung tahun ini menjadi salah satu persoalan yang mendapat sorotannya.
"Isu soal buruh asing ilegal asal China perlu mendapat perhatian khusus karena isu itu terkait dengan tiga soal sekaligus, yaitu soal ekonomi, politik dan keamanan," kata Fadli melalui siaran persnya, Sabtu 31 Desember 2016.
Politikus Partai Gerinda ini menambahkan dari sisi ekonomi, sebagai investor, China sebenarnya hanya menempati urutan kesembilan negara dengan investasi terbesar di Indonesia. Begitu juga sebagai kreditor, China hanya menempati urutan kelima, kalah oleh Singapura, Jepang, AS dan Belanda.
"Ironisnya, jumlah tenaga kerja asing kita didominasi oleh tenaga kerja asal China, hingga 23 persen. Dari sisi politik ekonomi, ini agak bermasalah," ucapnya.
Dari sisi politik, menurut Fadli, Indonesia pernah punya sejarah terkait konflik etnis China, baik pada masa kolonial maupun sesudah kemerdekaan. Itu sebabnya isu mengenai buruh asing ilegal asal China mudah menjadi isu sensitif.
"Pemerintah tak boleh menggampangkan isu ini menjadi semata-mata soal angka atau ekonomi," ujarnya.
Dari sisi keamanan, ia mengungkapkan, Indonesia tentu belum lupa pada kasus diterobosnya area militer Halim Perdanakusuma oleh tenaga kerja asing asal China, dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Lalu di Bogor, juga ada kasus ditemukan tanaman cabai mengandung bakteri berbahaya yang ditanam oleh tenaga kerja ilegal asal China.
"Soal tenaga kerja asing ilegal asal China ini akhirnya telah menjadi isu keamanan yang serius. Jangan lupa, soal keamanan ini bukan hanya bersifat militer, tapi juga non-militer. Dalam diskursus keamanan kontemporer, ancaman non-militer ini ada berbagai jenis, mulai dari lingkungan, pangan, energi, hingga ekonomi," paparnya.
Selain itu, ancaman yang dihadapi oleh negara-negara berkembang memang jauh lebih majemuk jika dibandingkan dengan negara-negara maju. Sebab, selain menghadapi ancaman dari luar, negara-negara berkembang juga menghadapi tantangan dalam menjaga stabilitas dalam negerinya.
"Sesudah reformasi politik kita kurang memperhatikan masalah pertahanan dan lebih banyak disibukkan oleh masalah-masalah dalam negeri lainnya. Ini harus diperhatikan oleh pemerintah, karena sepanjang tahun 2016, dan dalam dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, kapasitas pemerintah dalam persoalan pertahanan dan keamanan nasional banyak dipertanyakan," katanya.
Fadli menambahkan selain soal keamanan, pada dimensi ekonomi yang lebih luas, isu mengenai tenaga kerja asing ilegal asal China yang berkali-kali muncul sepanjang tahun 2016, juga menggambarkan adanya masalah dalam orientasi pembangunan pemerintah. Politik pembangunan pemerintah terlalu mengabdi kepada kepentingan investor.
Banyaknya Paket Kebijakan Ekonomi yang diluncurkan pemerintah, yang kini mencapai empat belas jilid, dan belum akan selesai, semangatnya hanyalah untuk memangkas aturan sesuai kepentingan investor semata.
Persoalannya adalah, mengutip data yang dirilis oleh BPS (Badan Pusat Statistik) dan juga Bank Dunia, rasio antara penambahan modal dan penambahan pengeluaran tak berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi. Nilai ICOR (Incremental Capital Output Ratio) RI tinggi, tapi pertumbuhan ekonomi cenderung turun.
Hal itu menunjukkan jika besaran investasi yang masuk tak dapat lagi digunakan untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi.
"Dulu, pada masa Orde Baru, setiap kenaikan satu persen pertumbuhan ekonomi bisa menciptakan 400 ribu lapangan kerja. Kini, kenaikan satu persen pertumbuhan ekonomi hanya bisa menciptakan 160 ribu lapangan kerja. Itu artinya, selain menghadapi pertumbuhan ekonomi yang cenderung menurun secara kuantitatif, pertumbuhan ekonomi secara kualitatif juga makin buruk," tegasnya.