Mantan Penasihat Kritik KPK

Mantan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVA.co.id – Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi  Abdullah Hehamahua memandang langkah KPK merekomendasikan agar negara meningkatkan jumlah subsidi anggaran untuk partai politik merupakan suatu kekeliruan. Apalagi jumlah yang disarankan itu meningkat drastis, yakni dari subsidi 0,01 persen menjadi 50 persen.

"Rekomendasi KPK untuk parpol disubsidi sebesar 50 persen adalah kebijakan yang keliru. Sebab, biaya politik yang sangat tinggi di Indonesia ini banyak variabelnya,” kata Abdullah ditanyai wartawan melalui pesan singkatnya, Senin, 28 November 2016.

 Antara lain yakni UU Pilpres, UU Pemilu, UU Pilkada dan UU Kepartaian yang sarat dengan masalah. Ini yang disebut sebagai korupsi politik.
 
Menurut Abdullah, berdasarkan kajian KPK tahun 2012, sebelum regulasi-regulasi disebutkan tadi diubah, maka tujuan negara berpotensi sia-sia untuk parpol. Meskipun peningkatan subsidi dana itu diniatkan untuk menekan korupsi di sektor politik.  

"Memberi subsidi ke parpol, tak otomatis menghilangkan percaloan anggaran di DPR tanpa amandemen semua UU di atas. Persoalan yang tidak kalah penting adalah kualitas SDM parpol dan sistem pengelolaan parpol yang sangat buruk turut menyuburkan percaloan anggaran di DPR," kata Abdullah.

Abdullah mengatakan, KPK seharusnya mengkaji lebih dalam lagi mengenai korupsi di sektor politik ini. Sebagai lembaga penegak hukum, ujar Abudullah, jangan sampai saran KPK justru menjadi bumerang di kemudian hari dan menyuburkan korupsi di sektor politik.

"Karena dampak negatif dari rekomendasi KPK tersebut adalah akan tumbuh subur parpol hanya untuk mendapat subsidi yang aduhai jumlahnya itu. Kemudian digunakan oleh pimpinan parpol untuk kepentingan pribadi, bukan untuk pengelolaan parpol," kata Abullah.

Abdullah sendiri menyarankan dua instumen yang bisa digunakan. Pertama, yakni Parpol baru bisa mendapat subsidi dari APBN jika telah mendapat prosentasi jumlah suara tertentu dalam pemilu.

"Jadi, sebelumnya setiap parpol harus berdarah-darah lebih dulu dengan uang partai sendiri," kata Abdulah.

Kedua, sambung Abdullah, parpol dibenarkan mempunyai usaha bisnis sendiri, seperti bengkel atau mal atau toko serba ada. Tapi usaha parpol ini tidak boleh berhubungan dengan APBN atau APBD.

"Dengan cara itu parpol dapat independen dan masalah anggaran pengelolaan partai tidak bergantung ke subsidi pemerintah," kata Abdullah.