23 Pasal RUU Pemilu Rawan Digugat
- VIVAnews/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id - Sebanyak 23 pasal krusial dalam Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu dianggap berpotensi melanggar putusan Mahkamah Konstitusi atau inkonstitusional.
Ketua Lembaga Penelitian Konstitusi dan Demokras (KODE) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, telah mengelompokkan 23 pasal tersebut ke dalam sembilan kualifikasi.
Yakni, penyelenggara, syarat calon, sistem pemilu, keterwakilan perempuan, syarat parpol dalam pengajuan calon presiden atau wakil presiden, larangan kampanye pada masa tenang, ketentuan sanksi kampanye, waktu pemilu susulan atau lanjutan, dan putusan DKPP terkait etika penyelenggaraan pemilu.
Veri mencontohkan, pasal bermasalah itu adanya keharusan penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu, untuk melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR dan Pemerintah dengan hasil yang mengikat. Aturan itu dia nilai bertentangan dengan Pasal 22 E Ayat 5 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
"Aturan RDP tersebut dimasukkan dalam RUU Pemilu Pasal 58 Ayat 4. Independensi KPU dalam membentuk PKPU akan tergerus atas adanya ketentuan RDP. Selain itu, jika ketentuan ini dibiarkan maka memunculkan perlambatan penyusunan PKPU," ujar Veri dalam keterangannya, Kamis 3 November 2016.
Tak hanya itu, soal sistem pemilu pemilihan anggota DPRD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota yang dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka terbatas pada Pasal 138 Ayat 2.
Aturan itu kata dia, bertentangan dengan Putusan MK Nomor 22/PUU-IV-2008, Pasal 27 Ayat 1 dan Pasal 28 D Ayat 3 yang menyinggung soal hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Veri berujar, pada dasarnya penetapan calon terpilih adalah berdasarkan calon yang mendapatkan suara terbanyak secara berurutan, bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan oleh partai.
"Ini akan memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya dan mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak," kata dia.
Karenanya, jika pasal-pasal ini dibiarkan, akan berakibat pada pelanggaran terhadap konstiusi atau inskonstitusional.
"Kalaupun tetap dipaksakan, justru berpotensi dibatalkan oleh MK. Kondisi ini tentu tidak akan menguntungkan terhadap penataan grand desain kepemiluan," kata dia.