Soal Isu Kebangkitan PKI, Kontras Kritik Jokowi
- VIVA.co.id/Ardian
VIVA.co.id – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai bahwa maraknya operasi antikomunisme atau Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan rekayasa dan tindakan yang berlebihan.
Kontras mencatat, apa yang terjadi dalam kurun waktu beberapa hari ini di bulan Mei, utamanya pasca Simposium Masalah 1965 dan upaya pendataan kuburan massal peristiwa 1965, merupakan upaya menciptakan “musuh” dan situasi kegentingan atas kebangkitan komunisme di Indonesia.
"Tindakan ini sungguh aneh karena PKI sudah dibubarkan. Komunisme pun harus dilihat sebagai pengetahuan umum di antara pengetahuan umum lainnya, yang dibaca dan dipelajari sebagai sebuah pengetahuan sosial. Lalu kenapa ada upaya menciptakan ketakutan pada pengetahuan ini? Jadi situasi ini merupakan musuh yang diciptakan," ujar Koordinator Kontras Haris Azhar melalui pesan singkatnya, Kamis, 12 Mei 2016.
Haris mengatakan, ketidakwarasan juga terlihat dari tindakan di lapangan yang terjadi dalam beberapa hari ini. Ketakutan akan PKI atau komunisme diwujudkan dengan mengamankan, menangkap, menyita atau melarang pemakaian kaos bergambar palu arit dan kaus berwarna merah. Bahkan film yang membahas pelanggaran HAM, intimidasi ke penerbit buku pun tak luput dilancarkan.
"Semua tindakan ini tidak berhubungan dengan suatu tindak pidana apapun yang sudah terjadi. Situasi ini justru menunjukkan bahwa ada upaya membangun kembali peran intervensi militer di Indonesia untuk masuk merecoki kehidupan sipil demokratis di Indonesia, di mana tentara melakukan intimidasi," kata Haris.
Menurutnya, apa yang terjadi saat ini adalah sebuah operasi bergaya Orde Baru dengan sedikit menggunakan peran teknologi informasi. Dia menyayangkan sikap Presiden Joko Widodo yang hanya mengamini genderang operasi atau propaganda tersebut. Diperparah dengan pernyataan Presiden yang menyatakan perlu penegakan hukum atas komunisme.
Haris khawatir, pernyataan itu bisa dijadikan alat pembenaran bagi siapapun di daerah atau di lapangan untuk saling tuduh dan berujung konflik atau kekerasan, dengan dalih atas nama “komunisme” seseorang atau kelompok tertentu bisa melakukan main hakim sendiri.
"Operasi ini terjadi akibat kegamangan pemerintahan Joko Widodo dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Ketidakpatuhan hukum oleh Komnas HAM, Jaksa Agung dan Presiden berdampak pada cara-cara penyelesaian yang berpotensi memunculkan atau "sengaja menciptakan" konflik sosial atau operasi tertentu," kata Haris. (ase)