Draf Revisi UU Terorisme Dinilai Tidak Memberikan Solusi

Ilustrasi Senjata.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dyah Ayu Pitaloka

VIVA.co.id – Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari beberapa lembaga swadaya masyarakat, KontraS, PSHK, ICJR, LBH Pers, dan Imparsial, menyayangkan sikap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memaksakan diri membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU tentang Tindak Pidana Terorisme, pasca adanya usulan Pemerintah untuk melakukan pembahasan bersama, terhadap draf revisi undang-undang itu.

Koalisi menilai pembahasan tersebut sangat dipaksakan, karena rancangan yang ada saat ini belum menjawab permasalahan yang terjadi dalam pemberantasan terorisme di Indonesia.

Ketentuan yang ada dalam rancangan saat ini justru melanggar prinsip hak asasi manusia (HAM) yang dianut dalam berbagai instrumen, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), serta Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICEAFRD).

Koalisi pun memberikan beberapa catatan kritis, yang muncul dalam draf RUU tentang Tindak Pidana Terorisme ini.

"Pertama, mengenai kewenangan penangkapan yang bertentangan dengan KUHAP," ujar peneliti ICJR, Erasmus Napitupulu dalam rilis yang diterima VIVA.co.id, Jumat, 29 April 2016.

Menurutnya, draf revisi memberikan kewenangan bagi penyidik untuk menangkap orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme dalam waktu 30 hari. Padahal, nomenklatur hukum yang berlaku di Indonesia tidak mengenal status hukum terduga sebagaimana diatur dalam RUU ini. 

KUHAP mengatur bahwa penangkapan dapat dilakukan dalam waktu satu hari dan penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa berdasarkan bukti yang cukup. Selain itu, ICCPR juga secara tegas telah mengatur bahwa penahanan hanya dapat dilakukan pada orang dengan status hukum yang jelas dengan jangka waktu yang rasional, untuk sesegera mungkin dibawa ke persidangan.

Kemudian, mengenai kewenangan pencabutan status kewarganegaraan bagi setiap WNI yang mengikuti segala jenis pelatihan untuk tindak pidana terorisme. Potensi pelanggaran HAM terjadi karena status kewarganegaraan merupakan hak setiap orang, yang diatur dalam Pasal 28D UUD 1945. 

"Pencabutan kewarganegaraan memiliki konsekuensi status keadaan tanpa negara (statelessness), yang tidak lagi mendapatkan jaminan perlindungan dari negara sehingga patut dihindari," ujar Erasmus.

Konsep deradikalisasi terorisme dengan cara menempatkan orang tertentu di satu tempat tertentu selama enam bulan dalam rangka deradikalisasi juga patut dipertanyakan. Kata Erasmus, deradikalisasi semacam ini berpeluang menciptakan model pusat-pusat penahanan yang rentan disalahgunakan untuk melakukan penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya.

Sementara itu, mengenai akuntabilitas kinerja aparat penegak hukum dalam pemberantasan terorisme, RUU ini belum membahas secara spesifik bentuk pertanggungjawaban dan akuntabilitas aparat penegak hukum dalam melakukan operasi pemberantasan terorisme. 

"Tidak adanya mekanisme akuntabilitas tercermin pada saat dilakukan pencegahan, penangkapan, dan penahanan terhadap terduga teroris. Kasus salah tangkap yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tidak hanya satu dua kali terjadi," kata dia.

Penyiksaan selama proses pemeriksaan, bahkan berakibat pada kematian seperti kasus Siyono, bukan hal baru. Dari data Komnas HAM disebutkan sedikitnya 121 orang yang diduga melakukan terorisme, tewas tanpa menjalani proses peradilan. 

Selanjutnya, mengenai tuntutan ganti kerugian jika terjadi kesalahan dalam operasi pemberantasan terorisme. Rancangan yang ada belum membahas penggantian kerugian yang dialami korban ataupun pihak terdampak lain.

"Kerugian yang dialami korban maupun pihak terdampak lain bukan hanya sebatas pada kerugian materil, tetapi juga imateril, seperti trauma psikis, stigma teroris terhadap korban salah tangkap, dan sebagainya," kata Erasmus.

Terakhir, mengenai penguatan hak korban terorisme. Menurutnya, penanganan korban terorisme selama ini tidak mendapatkan perhatian khusus, meskipun dalam berbagai undang-undang hak korban terorisme telah tercantum.

Dengan banyaknya permasalahan terkait pemberantasan terorisme yang masih belum mampu dijawab pemerintah melalui RUU tentang Perubahan atas UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, koalisi mendesak DPR agar tidak terburu-buru membahas RUU ini, sebelum ada evaluasi terhadap kinerja aparat penegak hukum.

Selain itu, DPR juga harus membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat sipil untuk memberikan masukan terkait pasal-pasal yang masih bermasalah, dan berpotensi pada terjadinya pelanggaran HAM. (ase)