Calon Ketua Umum Golkar yang Ideal
- ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
VIVA.co.id – Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, mengatakan calon ketua umum Partai Golkar yang terpilih pada Munas Golkar mendatang harus bebas dari skandal korupsi maupun skandal hukum.
“Dia tidak punya beban persoalan hukum korupsi atau apapun, ini kan logis, agar saat dia menjabat tidak punya sangkutan hukum. Nanti yang ada justru membuat Golkar tersandera jika ketuanya masih tersangkut hukum,” ujar Donal di Cafe Dua Nyonya Cikini, Jakarta Pusat, Kamis 3 Maret 2016.
Figur ketua umum Golkar terpilih menurutnya juga harus bisa mendorong kader-kader di Golkar untuk tidak terlibat dalam persoalan korupsi. Alasannya, sebagai "nahkoda" partai, ketua umum harus memberikan contoh terbebas dari persoalan tersebut.
“Masa pimpinannya tersandera hukum, bagaimana mau menularkan ke kadernya, saya kira ini harus jelas dari awal,” ungkap dia.
Syarat lain yang wajib dimiliki calon ketua umum yakni harus selesai dari persoalan ekonomi dan memiliki kapasitas membangun partai berlogo pohon beringin. Hal tersebut dinilai perlu agar soal-soal memperkaya diri tak lagi jadi godaan bagi pemimpin partai.
Dalam kesempatan yang sama, dipaparkan pula hasil survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) yang menyatakan bahwa 24,80 persen suara dari 500 responden menginginkan calon ketua umum Partai Golkar terpilih adalah yang bebas dari skandal korupsi.
Juru Bicara KedaiKopi, Hendri Satrio mengatakan hasil survei lainnya adalah bahwa publik ingin ketua umum Golkar terpilih tidak pernah terlibat skandal hukum. Jumlah responden yang menginginkannya 20 persen.
“Dua faktor itu menjadi hal yang paling diingini publik untuk calon ketua umum Golkar,” kata Hendri dalam kesempatan yang sama.
Sementara itu, KedaiKOPI juga mendaftar nama-nama yang dianggap pantas menjadi calon ketua umum yaitu Setya Novanto, Priyo Budi Santoso, Ade Komaruddin, Syahrul Yasin Limpo, Idrus Marham, Aziz Syamsudin, Airlangga Hartanto, Indra Bambang Utoyo, Zaki Iskandar dan Mahyudin. Ternyata, yang dinilai populer justru bukan kader lama.
“Ini hanya berdasarkan publik mengenal popularitasnya ya, bukan elektabilitas dan baru kali ini yang kalau dilihat dari sejarahnya, seharusnya yang lebih lama (di Golkar) yang tinggi, tapi ini Akom (Ade Komaruddin) dan Mahyuddin tidak, malah sebaliknya tinggi,” ungkapnya.