'Perjudian' Megaproyek Jokowi
Selasa, 9 Februari 2016 - 09:25 WIB
Sumber :
- VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id - Entah sudah berapa kali, Presiden Joko Widodo mengatakan program pembangunannya berlandaskan ajaran Tri Sakti Bung Karno, yang pada intinya mengajarkan kedaulatan politik, kepribadian budaya nasional dan kemandirian ekonomi.
Saat ini, pembangunan infrstruktur Indonesia sedang bersemi, dan semua proyek infrastruktur itu sedang berjalan. Hasilnya, Presiden memprediksi akan membuat ekonomi bangsa bisa mandiri, sehingga cita-cita Tri Sakti bisa tercapai nanti.
Bagi Mohammad Hailuki, peneliti Centre for Indonesian Political Studies (CIPS), Pemerintah mestinya tidak hanya melihat masa depan, dan menggantungkan ekonomi pada beragam proyek mercusuar.
"Tanpa bermaksud pesimistis, mari lupakan jargon ekonomi Indonesia akan ‘meroket’ dalam waktu dekat, yang menjadi fokus saat ini adalah bagaimana agar dapat bertahan dan tetap menumbuhkan harapan agar perkonomian nasional bisa selamat dan mengalami pertumbuhan, sekecil apapun itu," kata, Mohammad Hailuki, peneliti Centre for Indonesian Political Studies (CIPS) dan pemerhati politik Universitas Nasional Jakarta, kepada VIVA.co.id, Selasa 9 Februari 2016.
Prediksi ekonomi dunia yang masih mengalami perlambatan tahun ini disikapi pemerintah dengan tetap menggenjot sejumlah megaproyek infrastruktur, yang kadung digulirkan tahun lalu.
"Presiden Jokowi mengalokasikan anggaran infrastruktur sebesar Rp290,3 triliun pada 2015, angka ini merupakan rekor tertinggi dalam lima tahun terakhir," terang Hailuki.
Untuk 2016, pemerintah menganggarkan Rp213 triliun dengan harapan akan meningkatkan pertumbuhan pada jangka menengah 2017. Selain itu, mengajukan utang luar negeri sebesar 1 miliar dolar AS kepada Bank Investasi Infrastrutur Asia (BIIA) untuk mendanai sejumlah proyek fisik salah satunya pembangunan jalan tol Trans Kalimantan.
"Jokowi mengklaim, agar tidak Jawa Sentris maka arah pembangunan nasional di era kepemimpinannya dimulai dari kawasan pinggiran, dia menamakannya Indonesia Sentris dimana dana akan dimaksimalkan disebar ke luar Jawa. Adapun proyek infrastruktur di Pulau Jawa akan menggandeng investor dari luar negeri, salah satunya yaitu Tiongkok," paparnya.
Luki menjelaskan dalam perspektif ekonomi politik, postur APBN sebuah pemerintahan mencerminkan komitmen politik sekaligus mazhab ekonomi yang dianutnya. Pada titik ini, Jokowi harus berhati-hati, proyek infrastruktur memang diperlukan masyarakat. Namun, jangan sampai terjebak pada semangat awal proyek, sehingga menjadikan pembangunannya sekedar ikon. Hal ini membuatnya semakin jauh dari semangat kerakyatan dan mazhab ekonomi Marhaenisme.
"Terlebih lagi, bilamana di kemudian hari, megaproyek tersebut mangkrak tak jelas nasib, seperti contoh monorel yang groundbreaking-nya sempat diresmikan Jokowi saat masih menjadi gubernur DKI pada 2013," ujarnya.
Baca Juga :
Buat Hailuki, pada titik ini yang diperlukan masyarakat hanya penjelasan dan bukti. Penjelasan mengenai latar belakang dan proses pengerjaan proyek. Serta bukti, bahwa infrastruktur benar-benar memperbaiki ekonomi Indonesia.
"Apabila pemerintah tetap bersikukuh mengutamakan proyek-proyek mercusuar tanpa didasari perhitungan cermat dan transparansi, maka jangan salahkan publik apabila menduga ada udang di balik proyek," ungkap Hailuki. (adi)
Baca Juga :