Tambah Kewenangan BIN, Sutiyoso Dinilai Masih Teringat Orba
Senin, 18 Januari 2016 - 11:56 WIB
Sumber :
- ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
VIVA.co.id - Anggota Komisi III DPR RI, Masinton Pasaribu mempertanyakan permintaan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso untuk memperluas kewenangan lembaga intelijen. Usulan ini muncul setelah BIN dianggap kecolongan oleh banyak pihak atas peristiwa pemboman di kawasan MH Thamrin, Jakarta pekan lalu.
"Kewenangan BIN untuk menangkap dan segala macam dalam suasana demokratisasi sekarang ini saya rasa tidak penting," kata Masinton di gedung DPR RI, Jakarta, Senin 18 Januari 2016.
Menurut dia, apa yang diusulkan Sutiyoso hanya akan mengulang berbagai peristiwa masa lalu. "Sutiyoso berpikir beliau masih jaman tahun 80-an jadi masih terbayang-bayang ide intelijen pada masa rezim ode baru. Pada saat itu BIN punya kewenangan untuk melakukan penangkapan atau penahanan," ujar Masinton.
Politikus PDIP ini mengingatkan penanganan masalah terorisme bukan kewenangan BIN semata. Masalah ini lanjutnya, juga menjadi kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) dan Polri.
"Dalam hal penegakan hukum yang punya kewenangan penangkapan, penahanan itu hanya polisi. Nah kita serahkan itu kepada polisi dan yang lain membantu serta berkoordinasi," papar Masinton.
Atas dasar itu, Masinton menolak penambahan kewenangan penangkapan pada BIN. "Kalau intelijen diberikan kewenangan untuk penahanan, itu ya nggak pas," tegas dia.
Sementara terkait usulan revisi Undang-Undang Terorisme, Masinton menilai usulan tersebut bisa dilakukan. Namun revisi tidak perlu dilakukan secara menyeluruh."Kita akan kaji masalahnya. Poin-poin revisi bisa disatukan dengan Undang-Undang Keamanan Negara lain," jelasnya.
Sebelumnya Kepala BIN, Sutiyoso mengatakan, kewenangan BIN dalam penanganan terorisme terbatas. Kewenangan itu diatur dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Penanganan terorisme khususnya terdapat dalam Pasal 31 dan Pasal 34 ayat 1, huruf C.
BIN memiliki kewenangan dalam melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana dan penggalian informasi terhadap sasaran. Namun Pasal 34 membuat kewenangan BIN menjadi terbatas. Dalam pasal itu disebut, "Penggalian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilakukan dengan ketentuan tanpa melakukan penangkapan dan/atau penahanan".
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini membandingkan penanganan terorisme di Indonesia dengan negara lain. Negara-negara demokratis seperti Amerika Serikat, Prancis dan negara-negara Eropa lainnya bisa menyeimbangkan proses hukum dan proses intelijen. Hal yang sama juga katanya dilakukan di Malaysia.
Berbeda dengan Indonesia yang tergolong sangat menghormati HAM dan kebebasan, dengan mengedepankan proses hukum.
"Ketika keamanan nasional terancam oleh terorisme, mereka dapat mengedepankan proses intelijen di mana lembaga intelijen diberikan kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan," kata Sutiyoso di kantornya, Jakarta Selatan, Jumat, 15 Januari 2016.
Baca Juga :
"Kewenangan BIN untuk menangkap dan segala macam dalam suasana demokratisasi sekarang ini saya rasa tidak penting," kata Masinton di gedung DPR RI, Jakarta, Senin 18 Januari 2016.
Menurut dia, apa yang diusulkan Sutiyoso hanya akan mengulang berbagai peristiwa masa lalu. "Sutiyoso berpikir beliau masih jaman tahun 80-an jadi masih terbayang-bayang ide intelijen pada masa rezim ode baru. Pada saat itu BIN punya kewenangan untuk melakukan penangkapan atau penahanan," ujar Masinton.
Politikus PDIP ini mengingatkan penanganan masalah terorisme bukan kewenangan BIN semata. Masalah ini lanjutnya, juga menjadi kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) dan Polri.
"Dalam hal penegakan hukum yang punya kewenangan penangkapan, penahanan itu hanya polisi. Nah kita serahkan itu kepada polisi dan yang lain membantu serta berkoordinasi," papar Masinton.
Atas dasar itu, Masinton menolak penambahan kewenangan penangkapan pada BIN. "Kalau intelijen diberikan kewenangan untuk penahanan, itu ya nggak pas," tegas dia.
Sementara terkait usulan revisi Undang-Undang Terorisme, Masinton menilai usulan tersebut bisa dilakukan. Namun revisi tidak perlu dilakukan secara menyeluruh."Kita akan kaji masalahnya. Poin-poin revisi bisa disatukan dengan Undang-Undang Keamanan Negara lain," jelasnya.
Sebelumnya Kepala BIN, Sutiyoso mengatakan, kewenangan BIN dalam penanganan terorisme terbatas. Kewenangan itu diatur dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Penanganan terorisme khususnya terdapat dalam Pasal 31 dan Pasal 34 ayat 1, huruf C.
BIN memiliki kewenangan dalam melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana dan penggalian informasi terhadap sasaran. Namun Pasal 34 membuat kewenangan BIN menjadi terbatas. Dalam pasal itu disebut, "Penggalian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilakukan dengan ketentuan tanpa melakukan penangkapan dan/atau penahanan".
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini membandingkan penanganan terorisme di Indonesia dengan negara lain. Negara-negara demokratis seperti Amerika Serikat, Prancis dan negara-negara Eropa lainnya bisa menyeimbangkan proses hukum dan proses intelijen. Hal yang sama juga katanya dilakukan di Malaysia.
Berbeda dengan Indonesia yang tergolong sangat menghormati HAM dan kebebasan, dengan mengedepankan proses hukum.
"Ketika keamanan nasional terancam oleh terorisme, mereka dapat mengedepankan proses intelijen di mana lembaga intelijen diberikan kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan," kata Sutiyoso di kantornya, Jakarta Selatan, Jumat, 15 Januari 2016.