Kasus RJ Lino Dinilai Bisa Ganggu Stabilitas BUMN
- VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id - Penetapan status tersangka terhadap mantan Direktur Utama PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero), Richard Joost Lino, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap dapat menghambat tuntutan untuk berinovasi di kalangan pimpinan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Demikian menurut praktisi hukum Unoto Dwi Yulianto dalam diskusi yang diselenggarakan Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI) di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu, 10 Januari 2016.
"Lino berhasil meningkatkan aset Pelindo II dari sebelumnya hanya Rp7 triliun, menjadi lebih dari Rp21 triliun. Peningkatan aset itu bisa tercapai akibat direktur seperti Pak Lino berani melakukan terobosan," ujar Unoto.
Alih-alih diberi apresiasi, Unoto mengatakan, pelaksanaan terobosan malah dilihat sebagai hal yang mencurigakan oleh berbagai pihak penegak hukum. Bareskrim Mabes Polri melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya tindakan korupsi dalam pengadaan alat mobile crane. KPK melakukan penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana yang sama dalam pengadaan Quay Container Crane (QCC).
"Kalau semua direktur diberi perlakuan seperti RJ Lino, direktur yang lain mungkin berpikir bahwa lebih baik untuk diam-diam saja. Mendapat gaji, makan yang enak, kerja ya biasa-biasa saja," ujar Unoto.
Unoto mengatakan, ketidakjelasan posisi BUMN dalam sistem kenegaraan juga membuat kinerja BUMN selalu terancam untuk tertekan. Jajaran pimpinan BUMN sering kali menyewa jasa auditor independen untuk memeriksa kinerja internal mereka.
Pada saat yang sama, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga bisa melakukan audit. Di sisi lain, karena mendapat dana Penyertaan Modal Negara (PMN), pihak penegak hukum juga merasa berkewajiban untuk selalu mengawasi kinerja BUMN.
"Jadinya semua bisa masuk (untuk mengaudit kinerja). Kerja BUMN jadi seperti terus diobok-obok," lanjut Unoto. (ren)