Rapor Merah Kejaksaan Agung Bukan yang Pertama

Jaksa Agung HM Prasetyo dan Ketua KPK, Agus Raharjo, saat memberi keterangan pers di Jakarta beberapa waktu lampau.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id
- Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, mengaku tidak heran atas rendahnya nilai kinerja atas Kejaksaan Agung berdasarkan evaluasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) tahun 2015. Menurut dia, "rapor merah" bagi Kejagung bukanlah kali pertama ini -  bahkan terjadi dalam kurun tiga tahun terakhir.


"Rendah atau jebloknya nilai Kejaksaan Agung itu bukan cuman di kinerja Pak Jaksa Agung yang sekarang. Untuk LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) Kejagung di 2012, nilainya CC, jadi selama tiga atau empat tahun ini memang tidak pernah naik pangkat menjadi B atau BB," ujar Arsul di Gedung Nusantara III DPR pada Kamis, 7 Januari 2016.


Arsul menjelaskan ada dua alasan utama mengapa LAKIP Kejagung tidak pernah naik pangkat. Pertama adalah tidak jelasnya indikator pencapaian yang jelas dalam Rencana dan Strategi (Renstra) Kejaksaan Agung.

"Saya bandingkan misalnya materi fit and propertest pak Badrodin Haiti itu jelas, dia bilang beberapa bulan setelah jadi Kapolri akan begini pencapaiannya. Sedang Kejagung, indikator pencapaian dalam renstra tidak jelas," ucap Arsul.

Kedua, adalah pada banyaknya persoalan terkait transparansi dan akuntabilitas yang ada di Korps Adhyaksa. Persoalan pertama ialah terkait mutasi dan promosi jajaran Kejaksaan.


Politikus PPP itu mengaku pernah bertanya kepada Jaksa Agung bagaimana Kejaksaan mengimplementasikan Undang-Undang tentang mutasi dan promosi pegawai. Kemudian dijawan Jaksa Agung bahwa mereka tidak menggunakan UU tersebut, karena lembaganya  punya karakter tersendiri.


"Sangat disayangkan Kejaksaan tidak mengikuti Undang-Undang yang ada, padahal transparansi mutasi dan promosi itu adalah cara untuk memperbaiki kinerja Kejaksaan," jelas Arsul.


Permasalah lain di Kejaksaan adalah terkait pengawasan jaksa-jaksa nakal. Sistem manajemen informasi perkara (simkari) Kejaksaan juga masih perlu diperbaiki.


"Untuk sistem manajemen informasi perkara miliki MK dan MA lebih bagus kalau sudah selesai penanganan perkara
di-publish
, jadi masyarakat tahu. Sedangkan masyarakat tidak tahu berapa perkara yang pasti ditangani Kejagung. Kejagung pernah mengklaim menangani 1500 perkara, padahal berdasarkan pantauan ICW di Simkari Kejaksaan Agung hanya seratus-an. Makanya ICW minta datanya dibuka, tapi tidak diberikan," ucap Arsul.


Arsul berharap Kejaksaan Agung dapat memperjelas Renstra mereka. Termasuk juga memperbaiki Simkari untuk mempublikasikan perkembangan penanganan perkara ke publik. "Renstra Kejaksaan Agung harus dibenerin, kasih target waktu dan ukuran. Simkarinya juga harus dibenerin," kata dia. (ren)