Anggota DPR Tersandung Perkara Etik di MKD Sepanjang 2015
- Rizki Anhar
VIVA.co.id - Tahun 2015 akan segera berakhir, berganti dengan tahun baru 2016. Banyak momen yang sudah dilewati selama satu tahun ini, tak terkecuali di ranah politik.
Sepanjang 2015, banyak peristiwa politik yang sudah terjadi, khususnya menyangkut DPR. Dari gedung para anggota Dewan yang terhormat ini, salah satu yang menyita publik Tanah Air adalah kiprah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
(Baca: )
Tentu, kasus terbesar adalah skandal Freeport yang melibatkan Ketua DPR saat itu, Setya Novanto. Novanto dilaporkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said atas dugaan pelanggaran etik.
Namun demikian, perkara yang masuk ke MKD dan menjadi perhatian publik tidak hanya soal Freeport tersebut. Ada yang berbau urusan rumah tangga, kekerasan sampai dengan dugaan peselingkuhan.
(Baca: )
Berikut rekaman pelanggaran etik anggota DPR di MKD selama 2015:
1. Krisna Mukti Dituduh Telantarkan Istri
Artis sekaligus anggota DPR Krisna Mukti dilaporkan oleh sang istri Devi Nurmayanti ke MKD pada Kamis, 28 Mei 2015. Politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu dituduh menelantarkan Devi, tak memberi nafkah lahir dan batin.
Devi merasa tidak mempunyai status yang jelas sebagai istri Krisna. Oleh karena itu, dia mempertanyakan statusnya itu dan melapor ke MKD.
Saat itu, Krisna membantah tuduhan itu semua. Ia menilai tuduhan tersebut ngawur.
(Anggota DPR Krisna Mukti)
MKD kemudian menggelar sidang dan memutuskan bahwa Anggota Komisi X DPR itu telah terbukti melakukan pelanggaran kode etik ringan. Atas putusan ini, Krisna mendapat sanksi ringan berupa teguran lisan.
Selain di MKD, kasus rumah tangga itu juga tercatat sempat masuk ke Polda Metro Jaya. Krisna dan Devi saling melaporkan.
Devi melaporkan Krisna atas tuduhan pencemaran nama baik dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sedangkan Krisna melapor balik dengan tuduhan membuat keterangan palsu.
Pada 11 Agustus 2015, rumah tangga Krisna dan Devi yang dijalin sejak 23 Juni 2014 berakhir di Pengadilan Agama Depok. Majelis Hakim mengabulkan gugatan cerai Devi.
2. Anggota DPR Dituduh Gunakan Gelar dan Ijazah Palsu
Anggota DPR Fraksi Hanura Frans Agung Mula Putra dilaporkan oleh Denti Noviany Sari yang merupakan staf administrasinya sendiri, Rabu, 27 Mei 2015.
Denti melaporkan Frans karena perlakuan sewenang-wenang dan tidak manusiawi yang bersangkutan. Frans memberhentikan Denti sebagai staf tanpa alasan yang jelas dan dengan cara yang buruk serta tidak profesional.
Tidak hanya itu, Denti juga melaporkan anggota DPR dari daerah pemilihan Lampung I itu dengan dugaan menggunakan gelar palsu (Doktor) dari Universitas Satyagama. Padahal, menurut Denti, yang bersangkutan belum menyelesaikan studinya.
MKD juga sempat memproses perkara dugaan ijazah palsu terhadap dua anggota Dewan lainnya yaitu Jalaluddin Rahmat dari Fraksi PDI Perjuangan, dan Nurdin Tampubolon dari Fraksi Hanura. Namun, putusan yang dibacakan Fahri Hamzah pada Sidang Paripurna DPR, Jumat 3 Juli 2015, menyatakan bahwa keduanya tidak terbukti bersalah.
3. Dugaan Perselingkuhan Arzeti Biblina
Politikus Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Arzeti Bilbina melakukan pertemuan dengan Letkol Kav Rizeki Indra Wijaya yang kini berstatus mantan Komandan Kodim 0816 Sidoarjo di Hotel Arjuna Lawang, Malang, Jawa Timur, Oktober 2015 lalu. Kasus ini pun akhirnya dibawa ke Mahkamah Kehormatan Dewan.
(Anggota DPR Arzeti Bilbina)
Mahkamah pun melakukan pemeriksaan pada Anggota Komisi VIII DPR tersebut pada Selasa, 24 November 2015. MKD mengusut kasus Arzeti ini tanpa aduan, karena sudah menjadi sorotan publik.
Mereka juga akan memanggil Rizeki. Kasus ini masih berjalan di MKD sehingga belum ada keputusan.
4. Dugaan Penipuan Anggota DPR
Kasus dugaan penipuan dan penggelapan aset milik Djowo Semito dalam kasus kepailitan PT. Indonesia Antique dan Wahyu Hanggono. Dalam perkara ini, Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar Endang Srikarti Handayani diadukan oleh Djowo Semito Atmodjo ke MKD.
Disebutkan, kasus yang terjadi pada 2012 itu sebetulnya sudah inkrah atau berkekuatan hukum tetap. Endang ketika itu ditunjuk sebagai kurator untuk membereskan utang kasus kepailitan yang sesungguhnya sudah tak ada masalah lagi.
Endang mengungkapkan, ia pernah ditetapkan sebagai kurator oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang, Jateng untuk menyelesaikan kasus kapailitan yang melibatkan aset berupa tanah dan bangunan milik Djowo Semito.
Aset tersebut jelas-jelas masuk dalam bendel pailit dan diketahui Djowo serta hakim pengawas Pengadilan Niaga Semarang. Namun, Djowo tak terima asetnya dijual pada 2012 lalu.
Tak disebutkan apakah perkara ini masih berjalan di MKD atau sudah ada keputusannya. Media pun tidak banyak menyorotinya.
5. Anggota DPR Pukul Anggota DPR
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Mustofa Assegaf, memukul Wakil Ketua Komisi VII dari Fraksi Partai Demokrat, Mulyadi, Rabu, 8 April 2015. Perkara ini kemudian bergulir di MKD.
Setelah melalui proses persidangan, MKD akhirnya menjatuhkan vonis kepada Mustofa, politikus Partai Persatuan Pembangunan, yaitu diberhentikan sementara selama tiga bulan. Namun entah kenapa, pembacaan putusan tidak dilakukan secara terbuka.
Peristiwa berawal saat rapat kerja dengan Menteri ESDM. Sebagai pimpinan sidang, Mulyadi mengingatkan Mustofa agar bertanya tidak terlalu lama.
Mustofa tidak terima atas teguran tersebut, hingga terjadi saling debat. Perdebatan itu menurutnya kemudian akhirnya mereda.
Beberapa saat kemudian, Mulyadi izin ke toilet. Di sana ia bertemu dengan Mustofa dan kembali cekcok. Terjadilah pemukulan, Mustofa memukul Mulyadi.
Selain ke MKD, Mulyadi melakukan visum dan melaporkan kejadian itu ke Polda Metro Jaya pada 8 April 2015, dengan nomor TBL/1329/IV/2015/PMJ/Dit Reskrimum, dengan tuduhan penganiayaan. Tapi soal laporan di kepolisian itu, belum jelas perkembangannya hingga saat ini.
6. Pertemuan Setya Novanto-Donald Trump
Sekitar awal September 2015, Ketua DPR Setya Novanto, Wakil Ketua DPR Fadli Zon beserta rombongan berkunjung ke Amerika Serikat. Mereka bermaksud menghadiri konferensi Parlemen sedunia yang dilaksanakan di Markas PBB AS.
Namun, mereka kedapatan menghadiri kampanye pengusaha yang menjadi calon kandidat Presiden AS Donald Trump. Video kehadiran mereka dalam kampanye itu lalu tersebar ke masyarakat Indonesia.
(Setya Novanto dan Donald Trump)
Publik Tanah Air langsung mengecam. Dua pimpinan DPR itu dinilai menyalahi kode etik dan merendahkan martabat bangsa Indonesia.
Sejumlah anggota DPR seperti Charles Honoris, Adian Napitupulu, Akbar Faisal, Budiman Sudjatmiko, Dyah Pitaloka, pun melaporkan mereka ke MKD pada 7 September 2015.
Setelah bersidang, MKD akhirnya menjatuhkan sanksi pada Novanto dan Fadli pada Senin, 19 Oktober 2015. MKD menyatakan keduanya melakukan pelanggaran kode etik ringan dengan sanksi teguran.
7. Anggota DPR Diduga Aniaya PRT
Anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Fanny Safriansyah atau sering disapa Ivan Haz diduga menganiaya seorang PRT berinisial T yang bekerja di rumahnya. Irvan kemudian dilaporkan T ke Polda Metro Jaya atas tuduhan penganiayaan.
Atas perkara ini, MKD pun ikut bergerak dengan menggelar rapat dan melakukan penyelidikan menyangkut dugaan pelanggaran etik dari 5 hingga 13 Oktober 2015. Mereka juga berkoordinasi dengan kepolisian untuk menanyakan sejauh mana penanganan kasus tersebut.
Lembaga Perlindungan Anak dan Perempuan Indonesia (EL-PAPI) juga melaporkan Ivan ke MKD. EL-PAPI menilai Ivan melanggar pasal 3 ayat 1, 2 dan 4 dalam peraturan DPR nomor 1 tahun 2015.
Mereka menuntut MKD memberi sanksi seberat-beratnya. Namun, kasus ini sampai saat ini belum diketahui kejelasannya. Sementara, Ivan membantah tuduhan yang mengarah kepadanya.
8. Skandal Besar Freeport
Menteri ESDM Sudirman Said melaporkan Ketua DPR Setya Novanto ke MKD pada Senin, 16 November 2015. Sudirman menuduh Novanto mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden demi meminta saham kepada PT Freeport Indonesia.
(Menteri ESDM Sudirman Said bersaksi di sidang MKD)
Persoalan ini terkait erat dengan polemik perpanjangan kontrak Freeport di Indonesia. Kontrak perusahaan asal Amerika Serikat itu akan selesai pada 2021. Pembicaraan mengenai kontrak seharusnya baru bisa dilakukan pada 2019.
Kasus ini menyedot perhatian publik. MKD pun segera bekerja.
Setelah melakukan verifikasi bukti, dan mengundang pakar bahasa, mereka akhirnya memutuskan untuk melanjutkan aduan Sudirman ke tahap persidangan. MKD pun memanggil sejumlah saksi mulai dari Sudirman Said, Maroef Sjamsoeddin, Setya Novanto, Luhut Binsar Pandjaitan.
Kemudian, MKD akhirnya sampai pada tahap menjatuhkan sanksi bagi Novanto, Rabu, 16 Desember 2015. Namun, saat anggota MKD tengah memberikan pandangan mengenai sanksi terhadap Novanto, secara mendadak Novanto tiba-tiba mengundurkan diri.
Posisinya saat itu adalah 9 anggota menghendaki pemberian sanksi sedang, sementara 6 lainnya sanksi berat.
Oleh karena Novanto sudah mengajukan pengunduran diri, MKD lantas menerimanya. Ini membuat sidang MKD terkait kasus tersebut selesai tanpa vonis bagi Novanto meskipun ada putusan yang dikeluarkan.
Berikut putusan MKD, dibacakan oleh Surahman Hidayat:
1. Sidang MKD atas pengaduan saudara Sudirman Said terhadap Saudara Setya Novanto, dengan menerima surat pengunduran diri saudara Setya Novanto No. Anggota A.300 FPG sebagai Ketua DPR RI periode 2014-2019 tertanggal 16 Desember 2015.
2. Terhitung sejak hari Rabu 16 Desember 2015, saudara Setya Novanto dinyatakan berhenti sebagai Ketua DPR RI periode 2014-2019.
3. Demikian keputusan rapat MKD ini dibacakan pada sidang MKD yang sifatnya terbuka untuk umum pada hari Rabu 16 Desember 2015.
9. Perkara Henry Yosodiningrat
Skandal Freeport yang menjerat Setya Novanto juga ikut mengungkap kasus anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Henry Yosodiningrat. Awalnya, Fraksi PDIP berniat mengganti M Prakosa dengan Henry.
Namun keputusan itu ditolak oleh pimpinan MKD. Alasannya, Henry sudah dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran etik oleh MKD dalam kasus penyalahgunaan kop surat DPR.
Awal kasus terjadi pada September 2015. Ketika itu, Henry dilaporkan oleh mantan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RJ Soehandoyo ke MKD. Kasus ini seputar terpilihnya Henry sebagai Komisaris Utama sebuah perusahaan tambang emas di Sulawesi Tenggara.
RJ Soehandoyo yang sebelumnya menjabat komisaris di perusahaan itu melaporkan politikus PDIP tersebut atas dugaan menyalahgunakan kop surat DPR untuk mengintervensi proses hukum di kepolisian soal kasus yang membelit Soehandoyo.
Henry akhirnya dinilai terbukti melanggar kode etik. MKD menjatuhkan sanksi sedang kepadanya, yaitu memindahkan dari Komisi II ke Komisi VII. (ase)