Politikus PDIP Ini Tuding Wapres JK Sumber Kegaduhan
- VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id - Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu mengatakan, kegaduhan satu tahun kabinet Joko Widodo dan Jusuf Kalla menunjukkan tak semua anggota kabinet memahami Nawacita.
Salah satu contohnya adalah tidak pahamnya menteri terhadap Nawacita misalnya terkait dengan langkah Menteri ESDM yang melakukan negosiasi perpanjangan operasi PT Freeport Indonesia dan Menteri BUMN yang mengizinkan perpanjangan konsesi JICT.
"Dua menteri ini vital. Sangat vital menggerakkan roda ekonomi bangsa. Dan dua-duanya penyelusup dan penumpang gelap yang akan mengubah Nawacita menjadi dukacita. Kalau tidak dievaluasi bahaya," ujar Masinton dalam diskusi Hasil Survei Kinerja Menteri Kabinet Kerja di Hotel Gren Alia Cikini, Jakarta, Minggu, 20 Desember 2015.
Anggota Komisi III DPR ini menganalogikan titik-titik gaduh yang terjadi pada masa pemerintahan Jokowi dengan gempa. Menurutnya, gempa pasti memiliki titik gempa. Ia menuding episentrum gempa dari persoalan yang terjadi pada Menteri BUMN dan ESDM ada di Wakil Presiden (Wapres).
"Titik gaduhnya di Wapres. Dari persoalan listrik 35 ribu megawatt. Lalu ketika pelabuhan Pelindo digeledah, lalu telpon sana dan sini. Yang di Korea Selatan nelpon supaya tidak dilanjutkan. Kabareskrim yang mencopot Wapres juga. Penyelesaiannya menterinya reshuffle. Menteri ESDM dan Menteri BUMN ini bagian dari episentrum kegaduhan," kata Masinton menuding.
Masinton menceritakan, saat Wapres Jusuf Kalla (JK) akan dicalonkan menjadi wapres, kader muda PDIP bertanya apakah JK akan bisa menjamin tidak memimpin dan mengambil keputusan berdasarkan kepentingan bisnisnya. Saat itu, JK menjawab dirinya sudah tua dan tidak akan menggunakan kepentingan bisnisnya. Menurutnya, pernyataan ini yang harus direaliasikan JK.
"Kita tidak melarang pebisnis menduduki jabatan politik. Itu hak konstitusi. Tapi jangan gunakan jabatan formal untuk memuluskan praktek bisnis apalagi bertentangan dengan kepentingan rakyat," ujarnya.
Menurut dia, Presiden RI kedua, Soeharto dikritik karena anak-anaknya berbisnis dan menggunakan kekuasaan orangtuanya untuk memperluas relasi bisnisnya. "Kalau modelnya begitu, kita harus kritik dan kalau perlu harus mundur. Ubah dong cara itu, realisasikan janjinya. Jangan gunakan kekuasan untuk kepentingan bisnis."
(mus)