Banyak Calon Kepala Daerah Terlilit Utang
Selasa, 15 Desember 2015 - 18:28 WIB
Sumber :
- VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan praktik politik uang masih terjadi sepanjang gelaran Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) yang digelar serentak pada 9 Desember 2015.
Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Komisi (KPK), Pahala Nainggolan mengatakan Pilkada merupakan bagian penting dari dinamika Pemerintah Daerah. Akan tetapi nyatanya sejumlah kecurangan termasuk politik uang masih ditemukan dalam proses tersebut.
"KPK mencermati selama ini bahwa politik uang masih terjadi termasuk praktik percukongan, penjarahan APBD atau APBN. Korupsi yang dilakukan oleh birokrasi dalam bentuk menerbitkan regulasi untuk menguntungkan satu atau banyak kelompok," kata Pahala di kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jalan Medan Merdeka Utara 7, Jakarta Pusat, Selasa 15 Desember 2015.
Menurut Pahala, hasil penelitian KPK kurang lebih di 200 daerah yang menggelar Pilkada, ditemukan bahwa banyak pasangan calon (paslon) peserta Pilkada yang memiliki utang lebih banyak ketimbang harta kekayaan yang dimiliki.
"Kita lihat kekayaan calon sudah memberikan sinyal yang sudah agak mengerikan. Banyak paslon punya utang yang lebih banyak dibandingkan dengan kekayaan yang dimiliki, alias negatif," ungkap Pahala.
Menurut Pahala, 50 persen lebih paslon tidak mampu membayar biaya kampanye yang ditetapkan. Meski demikian, kata Pahala, banyak juga pasangan calon yang memiliki kekayaan sampai 280 miliar.
"Kami mencoba menganalisa laporan kekayaan. Bagaimana mungkin pasangan calon memiliki harta negatif alias dalam posisi berhutang. Kita bisa menduga jika menang. Demikian juga yang hartanya di bawah biaya kampanye, ini bisa diduga," kata Pahala.
Pahala menjelaskan, instrumen yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah APBD baik pengeluaran atau penerimaan dan perizinan Sumber Daya Alam (SDA).
"Makanya kita menaruh perhatian kepada daerah yang Pilkada kemarin, kaya akan sumber daya alam seperti tambang dan perkebunan. Dari instrumen itu akan bisa dilihat siapa yang menang dengan harta kekayaan yang dimiliki, sehingga bisa dilakukan antisipasi pencegahan agar praktik itu tidak terjadi," ujar Pahala.
Baca Juga :
Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Komisi (KPK), Pahala Nainggolan mengatakan Pilkada merupakan bagian penting dari dinamika Pemerintah Daerah. Akan tetapi nyatanya sejumlah kecurangan termasuk politik uang masih ditemukan dalam proses tersebut.
"KPK mencermati selama ini bahwa politik uang masih terjadi termasuk praktik percukongan, penjarahan APBD atau APBN. Korupsi yang dilakukan oleh birokrasi dalam bentuk menerbitkan regulasi untuk menguntungkan satu atau banyak kelompok," kata Pahala di kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jalan Medan Merdeka Utara 7, Jakarta Pusat, Selasa 15 Desember 2015.
Menurut Pahala, hasil penelitian KPK kurang lebih di 200 daerah yang menggelar Pilkada, ditemukan bahwa banyak pasangan calon (paslon) peserta Pilkada yang memiliki utang lebih banyak ketimbang harta kekayaan yang dimiliki.
"Kita lihat kekayaan calon sudah memberikan sinyal yang sudah agak mengerikan. Banyak paslon punya utang yang lebih banyak dibandingkan dengan kekayaan yang dimiliki, alias negatif," ungkap Pahala.
Menurut Pahala, 50 persen lebih paslon tidak mampu membayar biaya kampanye yang ditetapkan. Meski demikian, kata Pahala, banyak juga pasangan calon yang memiliki kekayaan sampai 280 miliar.
"Kami mencoba menganalisa laporan kekayaan. Bagaimana mungkin pasangan calon memiliki harta negatif alias dalam posisi berhutang. Kita bisa menduga jika menang. Demikian juga yang hartanya di bawah biaya kampanye, ini bisa diduga," kata Pahala.
Pahala menjelaskan, instrumen yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah APBD baik pengeluaran atau penerimaan dan perizinan Sumber Daya Alam (SDA).
"Makanya kita menaruh perhatian kepada daerah yang Pilkada kemarin, kaya akan sumber daya alam seperti tambang dan perkebunan. Dari instrumen itu akan bisa dilihat siapa yang menang dengan harta kekayaan yang dimiliki, sehingga bisa dilakukan antisipasi pencegahan agar praktik itu tidak terjadi," ujar Pahala.