Megawati: Saya Punya 10 Gelar Doktor Honoris Causa, Bukan Hasil Beli
- VIVA.co.id/Rahmat Fatahillah Ilham
Jakarta, VIVA - Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri mengaku memiliki sepuluh gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa) dari hasil sendiri, bukan membeli.
Hal tersebut disampaikan Megawati saat Peluncuran dan Diskusi Buku "Pilpres 2024 Antara Hukum, Etika dan Pertimbangan Psikologis" di Jakarta, Kamis, 12 Desember 2024. Buku ini ditulis oleh Todung Mulya Lubis bersama sejumlah pakar hukum.
"Saya ini jelek-jelek Honoris Causa, tapi tidak beli. Honoris Causa saya Doktor itu sepuluh, ini masih empat apa lima lagi ya,” kata Megawati.
Di sisi lain, ia mengaku mendapatkan gelar itu dari berbagai tindakan yang dilakukan. Salah satunya dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan memisahkan TNI dan Polri dari ABRI.
"Saya tadi ngomong sama Pak Todung, lah saya ini jelek-jelek, karena saya dipanggil presiden yang bikin MK, KPK, memisahkan TNI-Polri. Emang itu gampang? Susah loh harus nanya ahli hukum,” ujar dia.
Sementara itu, Megawati mengatakan dirinya menyambut antusiasme peluncuran buku berjudul "Pilpres 2024, antara hukum, etika dan pertimbangan psikologis." Lalu dia pun menyinggung soal amicus curiae yang pernah disampaikannya ke Mahkamah Konstitusi di saat Pilpres 2024.
"Saya dari jauh hari ketika saya menulis amicus curiae. Saya bilang seorang warga negara memberikan pernyataan yang hilang dari manusia Indonesia sekarang ini adalah etika, moral, dan hati sanubari yang sudah tumpul hanya ingin kuasa, ingin punya duit," sebut Megawati.
"Jadi buku ini jadi saksi keadilan yang dikalahkan oleh kekuasaan. Buku ini juga menjadi bukti bekerjanya elektoral dan demokrasi prosedural," ujar Megawati.
Dia lalu bercerita saat menjabat Presiden, menjalankan pemilu langsung. Saat itu pihak luar mengatakan sebagai pemilu yang demokratis. "Karena saya jalankan sesuai kekuasaan sebagai Presiden RI," kata Megawati.
Megawati mengatakan saat ini terkesan pura-pura demokrasi, tapi padahal tidak.
"Melalui pemilu elektoral, suara rakyat menjadi objek kekuasaan. Atas nama elektoral, seluruh penggunaan instrumen dan sumber daya negara dilegalkan," sebutnya.