Putusan MK soal Hukuman bagi Aparat Tak Netral dalam Pilkada Kurang Berefek Jera, Kata Akademisi
- ANTARA Foto/Hafidz Mubarak
Jakarta, VIVA - Akademisi Universitas Al Azhar Indonesia sekaligus Doktor Ilmu Politik di Universitas Indonesia, Ujang Komarudin, mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hukuman bagi ASN, pejabat daerah, dan TNI/Polri yang tidak netral dalam pilkada sudah bagus.
Ia membeberkan, apa yang sudah diputuskan oleh MK itu setidaknya menjadi rambu atau pengingat bagi pihak terkait agar menjaga sikap atau perilaku untuk tetap menjunjung tinggi netralitas dalam momentum pesta demokrasi tersebut.
"Tetapi dengan denda Rp6 juta atau pidana penjara 6 bulan itu kurang ada efek jera, karena terlalu kecil atau ringan hukumannya. Jadi seharusnya hukumannya lebih berat lagi dan besar dendanya, agar lebih kuat efek jeranya atau tidak mau melakukan lagi ke depan," kata Ujang dilansir ANTARA di Jakarta, Jumat, 15 November 2024.
Lebih lanjut dia membeberkan, kebijakan yang bagus harus ditopang, didorong, dan ditunjang oleh sanksi yang berat, sehingga akan lebih efektif untuk menjadi peringatan bagi orang-orang yang berpotensi melanggar.
"Kalau denda Rp6 juta itu, contoh mohon maaf bagi kepala daerah, kepala dinas, dan kepala bagian itu sangat kecil atau tidak tinggi," ujar Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) itu.
"Intinya, apa yang diputuskan oleh MK bagus, tetapi kalau sanksinya ringan, ya ASN, kepala daerah, dan lainnya tidak takut," tambah Ujang.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terkait sanksi bagi aparatur sipil negara (ASN), pejabat desa, pejabat daerah, pejabat negara, serta aparat TNI-Polri yang melanggar netralitas dalam proses pilkada.
Putusan MK memungkinkan dikenakannya sanksi kepada pelanggar, berupa pidana penjara dan denda hingga Rp6 juta sesuai Pasal 188 UU Nomor 1 Tahun 2015.
Sebelumnya, pasal tersebut tidak menyebutkan secara jelas bahwa pejabat daerah dan aparat TNI-Polri. Namun, setelah putusan MK terbaru, keduanya termasuk dalam pasal tersebut. (ant)