Hambatan Struktural-Budaya Masih Batasi Partisipasi Perempuan dalam Politik, Menurut Peneliti

Ilustrasi - Bendera parpol yang terpasang di depan Kantor KPU Karawang.
Sumber :
  • ANTARA/Ali Khumaini

Jakarta, VIVA - Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII) Felia Primaresti menyebut partai politik (parpol) di Indonesia harus berbenah guna melibatkan dan menempatkan kader perempuan ke dalam posisi strategis sebagai penentu kebijakan.
 
Dalam keterangan tertulisnya, dilansir ANTARA di Jakarta, Senin, 11 November 2024, ia membeberkan bahwa penting bagi partai politik mengembangkan AD/ART dengan lebih komprehensif dan menempatkan perempuan tidak hanya pada posisi konvensional, tetapi juga pada posisi strategis yang berkaitan langsung dengan pemenangan dan posisi pimpinan dalam pengambilan keputusan strategis partai.
 
Felia membeberkan, dalam penelitian berjudul "Menilik Representasi Perempuan dalam Pemilu 2024" yang dia tulis, didapat bahwa meski sudah ada afirmasi seperti kuota gender, hambatan struktural dan budaya masih membatasi akses dan partisipasi perempuan dalam berpolitik.

Kaukus Perempuan Politik Indonesia ProvinsiNTT

Photo :
  • VIVA/Bimo Aria

 
Salah satu temuan yang menarik adalah penurunan persentase kandidat perempuan dalam pileg, dari 40 persen pada 2019 menjadi 37 persen pada 2024. Walaupun, lanjut dia, pada akhirnya jumlah perempuan terpilih meningkat atau lebih banyak pada tahun ini.

 
Felia mengungkapkan, penelitian itu juga mendapatkan data bahwa 45 persen perempuan yang terpilih masih terkait dengan politik dinasti.
 
Hal itu mengindikasikan adanya kontradiksi dalam implementasi aturan afirmasi, khususnya dengan harmonisasinya terhadap aturan internal partai.
 
Oleh sebab itu, menurut dia, parpol perlu melakukan audit tahunan terhadap keterwakilan perempuan dalam pelaksanaan kegiatan elektoral, struktur kepengurusan, dan posisi strategis di setiap partai.

Rakornis Bidang Perempuan Partai Golkar Seluruh Indonesia.

Photo :
  • Istimewa

 
Selain itu, partai juga perlu mengembangkan mekanisme reward (hadiah/apresiasi) dan punishment (hukuman/sanksi) dalam aturan internal partai politik.
 
Misalnya dilakukan audit kepada daerah pemilihan (dapil) yang berhasil mencapai dan mempertahankan angka keterwakilan 30 persen atau misalnya bagi kantor wilayah yang menempatkan perempuan di posisi strategis, kata peneliti perempuan itu.
 
Sedangkan hasil audit, tambah dia, juga harus dipublikasikan untuk meningkatkan akuntabilitas.
 
Felia juga menyampaikan, seperti rekomendasi dari hasil riset TII sebelumnya, penting untuk mendorong keseriusan dan komitmen partai politik dalam melakukan reformasi kelembagaan partai, terutama untuk ikut meningkatkan representasi dan partisipasi bermakna perempuan dalam politik. (ant)