Putusan MK Nomor 60 Menyuburkan Praktik Demokrasi Kita
- YouTube VIVA
Jakarta, VIVA – Peneliti kepemiluan dan demokrasi, Titi Anggraini, menilai langkah Badan Legislasi atau Baleg DPR yang secara kilat melakukan revisi UU Pilkada dan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi atau MK, memang patut dipersoalkan.
Titi mengatakan, putusan MK adalah final dan mengikat dan berlaku seketika. Tetapi malah putusan itu diinterpretasi ulang oleh Baleg DPR. Padahal, putusan MK bukan lah baru dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
"Putusan MK bukan sesuatu yang baru dalam praktek ketatanegaraan kita. Tiba-tiba sebuah institusi organ negara mempertunjukkan bahwa putusan MK itu bisa kemudian diinterpretasi ulang. Nah ini pembelajaran hukum seperti apa," jelas Titi, dalam dialog Dua Sisi tvOne, dikutip VIVA, Jumat 23 Agustus 2024.
Rapat cepat Baleg DPR pasca putusan MK itu juga, memperlihatkan ke masyarakat bahwa DPR RI dalam melakukan pembahasan perundang-undangan tidak juga serius. Titi mengaku, itu bis dilihat dari cara Baleg ketika membahas RUU Pilkada yang tidak sejalan dengan putusan MK tersebut.
"Kita diperlihatkan bagaimana membahas UU itu nggak serius-serius amat kok. Baru mau berkomentar anggota DPR sudah disetop. Baru kemudian mau mendalami sebuah isu ini urusan negara ya, kita putuskan ya ketok palu, kok begitu amat," jelas mantan Direktur Eksekutif Perludem itu.
Untuk itu, menurutnya memilih pemimpin termasuk di dalam pilkada, harus diperjuangkan dengan bisa memberi banyak pilihan. Putusan MK Nomor 60 itu menurut dia, sudah mengakomodir itu. Sebagai warga yang nantinya akan memilih di pilkada, dia juga ingin disodorkan banyak pilihan tanpa dibatasi oleh pilihan yang itu-itu saja.
"Akhirnya sebagai warga kita belajar yg namanya hak itu tidak jatuh dari langit. Yg namanya hak itu harus kita perjuangkan. Dan kita harus bekerja keras mempertahankan itu," kata Titi.
Ada dua putusan MK terkait pilkada. Yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Lalu Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian ketentuan persyaratan batas usia minimal calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).
Bagi Titi, putusan MK terhadap dua perkara itu sebenarnya menyuburkan kembali demokrasi di Indonesia. Karena memberi keragaman untuk memilih calon kepala daerah.
"Makanya saya menyebut putusan MK Nomor 60 bagai oase di tengah kemarau demokrasi. Bagai angin segar bagai air yang menyuburkan praktik demokrasi kita," jelas Titi.